Minggu, 08 Desember 2019

Disrupsi Pendidikan

*NADIEM DAN DISRUPSI PENDIDIKAN KITA*

_Yuswohady_

*Prof. Clayton Christensen, pencipta TEORI DISRUPSI*, pada tahun *2014* memberikan prediksi yang membuat dunia tercengang: *“50% dari seluruh UNIVERSITAS di AS akan bangkrut dalam 10-15 tahun ke depan.”* Penyebabnya, karena *universitas-universitas itu terdisrupsi oleh beragam terobosan INOVASI seperti ONLINE LEARNING dan MOOCs ( _Massive Online Open Courses_).*

Prof. Christensen bukan satu-satunya yang bicara betapa mencemaskannya gonjang-ganjing disrupsi yang menerpa dunia pendidikan kita:

*65% anak-anak kita yang kini memulai sekolah nantinya bakal mendapatkan pekerjaan-pekerjaan yang saat ini belum ada.*

*75 juta (42%) pekerjaan manusia akan digantikan oleh _ROBOT_ dan _ARTIFICIAL INTELLIGENCE_  pada tahun 2022* ( _World Economic Forum, 2018_).

*60% universitas di seluruh dunia akan menggunakan _TEKNOLOGY VIRTUAL REALITY (VR)_ pada tahun 2021* untuk menghasilkan *lingkungan pembelajaran yang IMERSIF* (Gartner, 2018).

Peringatan pakar dan lembaga think tank global tersebut menjadi _*WAKE UP CALL*_ bagi _*STAKEHOLDERS*_ *PENDIDIKAN kita*. Bahwa kalau dunia pendidikan dikelola dengan cara-cara yang _*BAU (BUSINESS AS USUAL)*_ pada akhirnya akan menjadi obsolet, tak relevan, dan akhirnya melapuk.

Celakanya, *PENDIDIKAN adalah salah-satu institusi yang dikenal PALING SULIT BERUBAH menghadapi terpaan DISRUPSI.* Tak heran, jika *kondisi dan metode pembelajaran hari ini tak jauh berbeda dengan kondisi seabad yang lampau.*

Menjadi sangat *mencemaskan ketika kita menghadapi kenyataan bahwa dunia pendidikan kita diterpa TIGA GELOMBANG DISRUPSI* yang membuat sistem yang bertahun-tahun dibangun menjadi usang dan tidak relevan lagi.

*DISRUPSI MILENIAL*

Dari sisi anak didik, disrupsi datang dari *kaum milenial (dan neo-milenial atau generasi Z)* yang perilaku belajarnya berbeda sama sekali dengan generasi sebelumnya. *Perubahan perilaku ini menuntut perubahan radikal* dalam pendekatan pendidikan kita.

Anak didik milenial adalah *generasi yang _highly-mobile, apps-dependent,_ dan selalu terhubung secara online* ( _*always connected*_). Mereka begitu cepat menerima dan berbagi informasi melalui jejaring sosial. Mereka adalah _*self-learner*_ *yang selalu mencari sendiri pengetahuan yang mereka butuhkan melalui* _*YouTube atau Khan Academy.*_ Mereka menolak digurui.

Mereka adalah *generasi yang sangat melek visual* ( _visually-literate_), oleh karena itu lebih menyukai *belajar secara visual* (melalui video di YouTube, online games, bahkan menggunakan augmented reality) ketimbang melalui teks (membaca buku) atau mendengar ceramah guru di kelas.

Mereka juga *sangat melek data* ( _data-literate_) sehingga piawai berselancar di Google mengulik, memproses, mengurasi, dan menganalisis informasi ketimbang pasif berkubang di perpustakaan. Itu *dilakukan dengan super-cepat melalui 3M* : _*Multi-media, Multi-platform, dan Multi-tasking.*_

Dan mereka lebih nyaman belajar secara *kolaboratif di dalam proyek riil atau pendekatan _peer-to-peer_ melalui komunitas atau jejaring sosial (menggunakan _social learning platform_)*. Bagi mereka peers lebih kredibel ketimbang guru. Dan ingat, mereka *lebih suka menggunakan _interactive gaming_ (gamifikasi)* untuk belajar, ketimbang suntuk mengerjakan PR.

*DISRUPSI TEKNOLOGIi*

Teknologi pendidikan juga telah berkembang secara *eksponensial* sehingga berpotensi *mendisrupsi sekolah tradisional.*

Berbagai *inovasi disrupsi di sektor pendidikan seperti MOOC, _open educational resources (OER), situs tutorial online_ seperti RuangGuru atau Khan Academy, _social learning platform, personalized/customized learning, professional learning network (PLN)_, hingga _massively multi-player online (MMO) learning games_* kini sedang antri untuk mencapai *titik critical mass.* Begitu itu terjadi, kita akan mendapatkan *pendekatan pembelajaran baru yang lebih terbuka, kolaboratif, personal, ekperensial, dan sosial.*

Dengan beragam inovasi tersebut barangkali *ruang kelas kurang diperlukan lagi*. *Guru* akan berubah peran secara drastis *sebagai MENTOR, MOTIVATOR dan MODEL*. Dan yang jelas akan tersedia begitu banyak learning channel dan sekolah tak lagi bisa memonopoli proses pembelajaran.

Sebagai wahana pembelajaran, *sekolah tradisional akan tergeser dari posisi “CORE” menjadi “PERIPHERAL”*. Proses pembelajaran *tak melulu di kelas tapi bisa dilakukan   anytime, anywhere, any platform/device*. Guru juga tak hanya yang ada di kelas tapi *bisa dari manapun termasuk “GURU” yang diperankan oleh AI atau AR/VR.*

*DISRUPSI KOMPETENSI TEKNOLOGI 4.0_* menghasilkan *kompetensi (skill-set) baru* sekaligus mendisrupsi kompetensi lama yang tak relevan lagi karena *tergantikan oleh ROBOT dan AI*. Tak hanya pekerjaan-pekerjaan yang bersifat repetitif, pekerjaan-pekerjaan analitis dari beragam profesi seperti *dokter, pengacara, analis keuangan, konsultan pajak, wartawan, akuntan, hingga penerjemah.*

_*The fourth industrial revolution seems to be creating fewer jobs in new industries than previous revolutions*_ ujar Klaus Schwab pendiri World Economic Forum dan penulis _*The Fourth Industrial Revolutions*_ (2016).

Dengan kemajuan *teknologi machine learning, AI, big data analytics, IoT, AR/VR, hingga 3D printing,* maka pekerjaan akan bergeser dari _*manual occupations dan routine/repetitive jobs ke cognitive/creative jobs*_. Dan nantinya kesuksesan ditentukan oleh *kemampuan kolaborasi _HUMAN + ROBOT_*

Itu dari sisi _*hard skill.*_

Untuk _*soft skill,*_ Tony Wagner (2008) merumuskan _*“Seven Survival Skills for 21st Century”*_ yaitu: _*critical thinking and probelm solving; collaboration across network; agility and adaptability; Initiative and entrepreneurship; Accessing and analysing information; effective communication; curiosity and imagination.*_

Celakanya, *tujuh skill-set itu MINIM diajarkan di sekolah-sekolah kita saat ini.* Karena itu sekolah-sekolah kita *HARUS meredefinisi kurikulumnya* dengan *mengakomodasi skill-set baru* tersebut.

*_Nadiem_*

Tiga disrupsi di atas membutuhkan terobosan kreatif dan pendekatan baru yang tidak BAU. Paradigma baru yang melahirkan tiga disrupsi tersebut membutuhkan pendekatan baru yang fresh dan bervisi jauh ke depan. 
Pendekatan lama dari orang-orang lama yang puritan dan resisten hanya akan membuat ekosistem pendidikan kita kian terpuruk dan melapuk.

*Dunia pendidikan kita membutuhkan sosok muda (milenial) yang memiliki default pemikiran yang fit dengan logika zaman baru yang akan kita masuki.* Dalam konteks inilah pengangkatan *Nadiem Makarim sebagai Mendikbud menemukan substansi dan urgensinya.*

*Dunia pendidikan yang terimbas gelombang besar disrupsi membutuhkan pemimpin disruptif (disruptive leader) yang mumpuni.* Dan seperti telah dibuktikannya di Go-Jek yang menghadapi challenges yang sama, peran ini seharusnya *mampu dimainkan oleh seorang Nadiem. Setidaknya dalam setahun kepemimpinannya,* Nadiem *harus* melakukan *NADIEM DAN DISRUPSI PENDIDIKAN KITA*

_Yuswohady_

*Prof. Clayton Christensen, pencipta TEORI DISRUPSI*, pada tahun *2014* memberikan prediksi yang membuat dunia tercengang: *“50% dari seluruh UNIVERSITAS di AS akan bangkrut dalam 10-15 tahun ke depan.”* Penyebabnya, karena *universitas-universitas itu terdisrupsi oleh beragam terobosan INOVASI seperti ONLINE LEARNING dan MOOCs ( _Massive Online Open Courses_).*

Prof. Christensen bukan satu-satunya yang bicara betapa mencemaskannya gonjang-ganjing disrupsi yang menerpa dunia pendidikan kita:

*65% anak-anak kita yang kini memulai sekolah nantinya bakal mendapatkan pekerjaan-pekerjaan yang saat ini belum ada.*

*75 juta (42%) pekerjaan manusia akan digantikan oleh _ROBOT_ dan _ARTIFICIAL INTELLIGENCE_  pada tahun 2022* ( _World Economic Forum, 2018_).

*60% universitas di seluruh dunia akan menggunakan _TEKNOLOGY VIRTUAL REALITY (VR)_ pada tahun 2021* untuk menghasilkan *lingkungan pembelajaran yang IMERSIF* (Gartner, 2018).

Peringatan pakar dan lembaga think tank global tersebut menjadi _*WAKE UP CALL*_ bagi _*STAKEHOLDERS*_ *PENDIDIKAN kita*. Bahwa kalau dunia pendidikan dikelola dengan cara-cara yang _*BAU (BUSINESS AS USUAL)*_ pada akhirnya akan menjadi obsolet, tak relevan, dan akhirnya melapuk.

Celakanya, *PENDIDIKAN adalah salah-satu institusi yang dikenal PALING SULIT BERUBAH menghadapi terpaan DISRUPSI.* Tak heran, jika *kondisi dan metode pembelajaran hari ini tak jauh berbeda dengan kondisi seabad yang lampau.*

Menjadi sangat *mencemaskan ketika kita menghadapi kenyataan bahwa dunia pendidikan kita diterpa TIGA GELOMBANG DISRUPSI* yang membuat sistem yang bertahun-tahun dibangun menjadi usang dan tidak relevan lagi.

*DISRUPSI MILENIAL*

Dari sisi anak didik, disrupsi datang dari *kaum milenial (dan neo-milenial atau generasi Z)* yang perilaku belajarnya berbeda sama sekali dengan generasi sebelumnya. *Perubahan perilaku ini menuntut perubahan radikal* dalam pendekatan pendidikan kita.

Anak didik milenial adalah *generasi yang _highly-mobile, apps-dependent,_ dan selalu terhubung secara online* ( _*always connected*_). Mereka begitu cepat menerima dan berbagi informasi melalui jejaring sosial. Mereka adalah _*self-learner*_ *yang selalu mencari sendiri pengetahuan yang mereka butuhkan melalui* _*YouTube atau Khan Academy.*_ Mereka menolak digurui.

Mereka adalah *generasi yang sangat melek visual* ( _visually-literate_), oleh karena itu lebih menyukai *belajar secara visual* (melalui video di YouTube, online games, bahkan menggunakan augmented reality) ketimbang melalui teks (membaca buku) atau mendengar ceramah guru di kelas.

Mereka juga *sangat melek data* ( _data-literate_) sehingga piawai berselancar di Google mengulik, memproses, mengurasi, dan menganalisis informasi ketimbang pasif berkubang di perpustakaan. Itu *dilakukan dengan super-cepat melalui 3M* : _*Multi-media, Multi-platform, dan Multi-tasking.*_

Dan mereka lebih nyaman belajar secara *kolaboratif di dalam proyek riil atau pendekatan _peer-to-peer_ melalui komunitas atau jejaring sosial (menggunakan _social learning platform_)*. Bagi mereka peers lebih kredibel ketimbang guru. Dan ingat, mereka *lebih suka menggunakan _interactive gaming_ (gamifikasi)* untuk belajar, ketimbang suntuk mengerjakan PR.

*DISRUPSI TEKNOLOGIi*

Teknologi pendidikan juga telah berkembang secara *eksponensial* sehingga berpotensi *mendisrupsi sekolah tradisional.*

Berbagai *inovasi disrupsi di sektor pendidikan seperti MOOC, _open educational resources (OER), situs tutorial online_ seperti RuangGuru atau Khan Academy, _social learning platform, personalized/customized learning, professional learning network (PLN)_, hingga _massively multi-player online (MMO) learning games_* kini sedang antri untuk mencapai *titik critical mass.* Begitu itu terjadi, kita akan mendapatkan *pendekatan pembelajaran baru yang lebih terbuka, kolaboratif, personal, ekperensial, dan sosial.*

Dengan beragam inovasi tersebut barangkali *ruang kelas kurang diperlukan lagi*. *Guru* akan berubah peran secara drastis *sebagai MENTOR, MOTIVATOR dan MODEL*. Dan yang jelas akan tersedia begitu banyak learning channel dan sekolah tak lagi bisa memonopoli proses pembelajaran.

Sebagai wahana pembelajaran, *sekolah tradisional akan tergeser dari posisi “CORE” menjadi “PERIPHERAL”*. Proses pembelajaran *tak melulu di kelas tapi bisa dilakukan   anytime, anywhere, any platform/device*. Guru juga tak hanya yang ada di kelas tapi *bisa dari manapun termasuk “GURU” yang diperankan oleh AI atau AR/VR.*

*DISRUPSI KOMPETENSI TEKNOLOGI 4.0_* menghasilkan *kompetensi (skill-set) baru* sekaligus mendisrupsi kompetensi lama yang tak relevan lagi karena *tergantikan oleh ROBOT dan AI*. Tak hanya pekerjaan-pekerjaan yang bersifat repetitif, pekerjaan-pekerjaan analitis dari beragam profesi seperti *dokter, pengacara, analis keuangan, konsultan pajak, wartawan, akuntan, hingga penerjemah.*

_*The fourth industrial revolution seems to be creating fewer jobs in new industries than previous revolutions*_ ujar Klaus Schwab pendiri World Economic Forum dan penulis _*The Fourth Industrial Revolutions*_ (2016).

Dengan kemajuan *teknologi machine learning, AI, big data analytics, IoT, AR/VR, hingga 3D printing,* maka pekerjaan akan bergeser dari _*manual occupations dan routine/repetitive jobs ke cognitive/creative jobs*_. Dan nantinya kesuksesan ditentukan oleh *kemampuan kolaborasi _HUMAN + ROBOT_*

Itu dari sisi _*hard skill.*_

Untuk _*soft skill,*_ Tony Wagner (2008) merumuskan _*“Seven Survival Skills for 21st Century”*_ yaitu: _*critical thinking and probelm solving; collaboration across network; agility and adaptability; Initiative and entrepreneurship; Accessing and analysing information; effective communication; curiosity and imagination.*_

Celakanya, *tujuh skill-set itu MINIM diajarkan di sekolah-sekolah kita saat ini.* Karena itu sekolah-sekolah kita *HARUS meredefinisi kurikulumnya* dengan *mengakomodasi skill-set baru* tersebut.

*_Nadiem_*

Tiga disrupsi di atas membutuhkan terobosan kreatif dan pendekatan baru yang tidak BAU. Paradigma baru yang melahirkan tiga disrupsi tersebut membutuhkan pendekatan baru yang fresh dan bervisi jauh ke depan. 
Pendekatan lama dari orang-orang lama yang puritan dan resisten hanya akan membuat ekosistem pendidikan kita kian terpuruk dan melapuk.

*Dunia pendidikan kita membutuhkan sosok muda (milenial) yang memiliki default pemikiran yang fit dengan logika zaman baru yang akan kita masuki.* Dalam konteks inilah pengangkatan *Nadiem Makarim sebagai Mendikbud menemukan substansi dan urgensinya.*

*Dunia pendidikan yang terimbas gelombang besar disrupsi membutuhkan pemimpin disruptif (disruptive leader) yang mumpuni.* Dan seperti telah dibuktikannya di Go-Jek yang menghadapi challenges yang sama, peran ini seharusnya *mampu dimainkan oleh seorang Nadiem. Setidaknya dalam setahun kepemimpinannya,* Nadiem *harus* melakukan tiga terobosan kunci.

_*Pertama*_, 

ia harus bisa menemukan _*“end destination”*_ yang menunjukkan ke *ARAH* mana sektor pendidikan kita akan dibawa di tengah pusaran disrupsi. Persis seperti ketika ia mampu menavigasi Go-Jek menjadi mega-platform dengan multi-layanan.

*_Kedua,_* 

ia *harus* bisa *menanggalkan* (unlearn) paradigma lama Kementerian dan *melumerkan* (unfreeze) budaya kerja lama yang terlanjur mengeras puluhan tahun agar lincah bertransformasi. Ini adalah pekerjaan tersulit di tengah birokrasi Kementerian yang terlanjur gemuk, lambat, kronis.

*Ketiga*, 

dengan *cepat menghasilkan creative solution* untuk memecahkan persoalan-persoalan kekinian pendidikan kita. Kita menunggu terobosan-terobosannya di Go-Jek dengan segudang cretive solution dari Go-Ride, Go-Car, Go-Send, Go-Food, hingga Go-Pay bisa terulang untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan kita.

_Banyak tantangan lama pembangunan pendidikan yang telah bertahun-tahun tak kunjung bisa dituntaskan_ seperti: pemerataan pendidikan di seluruh pelosok Nusantara, tingginya angka putus sekolah, kesenjangan dunia pendidikan dan dunia kerja, hingga yang paling “jadul” pemberantasan buta huruf di pedesaan.

Namun jangan lupa, tantangan pendidikan ke depan seperti saya gambarkan dengan tiga gelombang disrupsi di atas tak kalah urgennya untuk disolusikan. *Gagal paham dan kekeliruan dalam merespons tantangan pendidikan masa depan akan dibayar mahal oleh bangsa ini:* alih-alih menjadi negara maju, *Indonesia justru bakal terjebak ke dalam “middle-income trap”* bahkan tergelincir kembali menjadi negara miskin.

Dan rupanya *Jokowi jeli melihat persoalan pendidikan kita dari perspektif tantangan masa depan*… dengan mengangkat Nadiem.

Sumber : Sindonews terobosan kunci.

_*Pertama*_, 

ia harus bisa menemukan _*“end destination”*_ yang menunjukkan ke *ARAH* mana sektor pendidikan kita akan dibawa di tengah pusaran disrupsi. Persis seperti ketika ia mampu menavigasi Go-Jek menjadi mega-platform dengan multi-layanan.

*_Kedua,_* 

ia *harus* bisa *menanggalkan* (unlearn) paradigma lama Kementerian dan *melumerkan* (unfreeze) budaya kerja lama yang terlanjur mengeras puluhan tahun agar lincah bertransformasi. Ini adalah pekerjaan tersulit di tengah birokrasi Kementerian yang terlanjur gemuk, lambat, kronis.

*Ketiga*, 

dengan *cepat menghasilkan creative solution* untuk memecahkan persoalan-persoalan kekinian pendidikan kita. Kita menunggu terobosan-terobosannya di Go-Jek dengan segudang cretive solution dari Go-Ride, Go-Car, Go-Send, Go-Food, hingga Go-Pay bisa terulang untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan kita.

_Banyak tantangan lama pembangunan pendidikan yang telah bertahun-tahun tak kunjung bisa dituntaskan_ seperti: pemerataan pendidikan di seluruh pelosok Nusantara, tingginya angka putus sekolah, kesenjangan dunia pendidikan dan dunia kerja, hingga yang paling “jadul” pemberantasan buta huruf di pedesaan.

Namun jangan lupa, tantangan pendidikan ke depan seperti saya gambarkan dengan tiga gelombang disrupsi di atas tak kalah urgennya untuk disolusikan. *Gagal paham dan kekeliruan dalam merespons tantangan pendidikan masa depan akan dibayar mahal oleh bangsa ini:* alih-alih menjadi negara maju, *Indonesia justru bakal terjebak ke dalam “middle-income trap”* bahkan tergelincir kembali menjadi negara miskin.

Dan rupanya *Jokowi jeli melihat persoalan pendidikan kita dari perspektif tantangan masa depan*… dengan mengangkat Nadiem.

Sumber : Sindonews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar