KARTINI, MULTIKULTURALISME DAN FRANCOPHONE
Tepat di hari Kartini 2018 ini, kawan saya Iwan Ong Santosa menulis artikel panjang tentang aspek multikulturalisme Kartini beserta ketertarikannya dalam bahasa Prancis. Iwan banyak mengutip apa yg sdh saya tulis dalam beberapa media tentang pandangan Kartini mengenai etnik Tionghoa dan Arab.
Menarik di sini, sebetulnya Kartini mengagumi konglomerat Oei TIong Ham asal Semarang yg dipujinya sebagai sosok "ayah yg modern", sekaligus ayahanda dari perempuan2 "modern", yaknua Oei Tjong Lan dan adiknya yg legendaris, Oei Hui Lan. Namun ironisnya, "the Oei sisters" hingga wafatnya tidak pernah tahu bahwa Kartini pernah menjadikan mereka ikon kemodernan perempuan.
Terkait Francophone, saya memiliki dua buku kumpulan surat Kartini yg diterkejemahkan ke dalam bahasa Prancis Cetakan pertama 1960 dan kedua 1999.. Editor dan penerjemahnya adalah Prof Louis Charles Damais, seorg arkeolog Prancis yg kmd menikah dg perempuan ningrat asal Kraton Mangkunegaran. Pasangan ini menghasilakn dua budayawan Adji dan Asmoro Damais...
Saya yakin Kartini pasti akan sangat bangga bahwa pemikirannya pun disebarkan dalam bahasa yg juga dicintainya itu.
Rekan Iwan Ong sendiri cukup fasih dalam bahasa Prancis dan juga sudah menulis bbrp buku ttg kehadiran Prancis dalam sejarah Indonesia
===============================================
Jejak-jejak Lingkungan Intelektual RA Kartini
Iwan Santosa
21 April 2018 09:00 WIB
Raden Adjeng Kartini dikenal sebagai Pahlawan Nasional yang menjadi perintis pendidikan perempuan dan kesetaraan jender pada akhir abad ke-19 di Jawa. Namun, sedikit yang memandang RA Kartini dan keluarga dalam dunia budaya berbahasa Perancis (Francophone) dan pandangannya terhadap pluralisme masyarakat di zaman peralihan tahun 1890-awal 1900 di Hindia-Belanda dan dunia yang sedang berubah kala itu.
Dunia penutur bahasa Perancis sebetulnya tidaklah jauh dari Kartini dan keluarga. Dalam salah satu foto ikonik, Kartini bersama adik-adik dan murid perempuannya berpose di sekeliling papan tulis berisi materi pelajaran yang ditulis dengan kapur. Materi bahan bacaan yang tertulis di papan tulis itu, dan selama ini terabaikan, adalah cuplikan naskah La Petit Chaperon Rouge atau Si Kecil Bertudung Merah.
Dongeng Perancis klasik karangan Charles Perrault itu menjadi materi ajar di sekolah yang dibuka Kartini bagi anak-anak perempuan di Jepara. Betapa menjelang akhir abad ke-19, perempuan-perempuan Jawa di Jepara, elle a lu et parle francais (mereka sudah belajar membaca dan berbicara dalam Perancis)!
Bahasa Perancis di abad ke-19 memang menjadi salah satu simbol pendidikan dan status priyayi. Penulis Jean Rocher yang menulis buku Sejarah Kecil Indonesia-Prancis 1800-2000 mengatakan, bahasa Perancis adalah bahasa bangsawan dan kaum terdidik Eropa yang kemudian menyebar di seluruh dunia.
Sejarawan Didi Kwartanada yang menulis kajian Pelopor Pluralisme Kajian atas Surat-surat Kartini pada tahun 2011 mengatakan, kakek RA Kartini, yakni Bupati Demak Pangeran Ario Tjondronegoro IV (1850), mengambil guru privat Eropa bagi anak-anaknya. Dua anak Tjondronegoro IV adalah Raden Samingun yang kelak bernama Raden Mas Ario Sosroningrat (Bupati Jepara 1881), ayah RA Kartini; dan Pangeran Aryo Hadiningrat (kemudian menjadi Bupati Demak menggantikan ayahnya).
Dari guru privat Eropa itu, mereka menguasai beberapa bahasa asing. Pada zaman itu hingga menjelang kemerdekaan Indonesia, di sekolah-sekolah dan pendidikan kurikulum Eropa diajarkan bahasa Belanda, Perancis, Jerman, dan Inggris.
Pangeran Ario Tjondronegoro IV, menurut Didi Kwartanada, pernah mengadakan perjalanan keliling Jawa yang kemudian dituliskan dalam otobiografi berbahasa Jawa. Dia bisa disebut sebagai salah satu pelopor penulisan otobiografi di kalangan masyarakat Jawa.
Catatan itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh peneliti senior Ecole Francaise D’extreme Orient (EFEO) di Jakarta, Henri Chamber Loir, dengan judul Le Peregrinations Javanais.
Berbekal orangtua yang peduli pendidikan dan berwawasan luas, ayah dan paman RA Kartini adalah dua dari empat bupati di Jawa di zamannya yang paham berkomunikasi dalam bahasa Belanda dan memahami berbagai bahasa dan budaya mancanegara. Selanjutnya, Bupati Jepara Sosroningrat mewarisi keluhuran budaya Jawa dan pendidikan Barat yang diteruskan kepada putra-putrinya.
Salah satu putranya, yakni RMP Sosrokartono, kakak kandung RA Kartini, kemudian mengenyam pendidikan Eropa di Jawa dan Leiden di Belanda. Sosrokartono disebut mewariskan buku-buku berbahasa asing kepada RA Kartini sebagai pembuka pintu dunia bagi adiknya yang disapa akrab Trinil itu.
Wartawan perang
Sosrokartono berperan besar dalam membuka minat dan wawasan RA Kartini serta adik-adiknya. Sosrokartono adalah seorang polyglot yang fasih berbahasa Perancis dan belasan bahasa lain. Sosrokartono disebut sebagai wartawan perang pertama Indonesia karena pernah meliput Perang Dunia I dan menjadi saksi menyerahnya Jerman kepada sekutu tahun 1918.
Penulis Solichin Salam dalam buku RMP Sosrokartono Sebuah Biografi, Sugih Tanpa Banda, Digdaja Tanpa Adji, Ngalurug Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake (Kaya Tanpa Harta, Berkuasa Tanpa Kesaktian, Menyerang Tanpa Kekerasan, Menang Tanpa Mempermalukan) mencatat, saat melamar kerja menjadi wartawan, Sosrokartono menjalani ujian mengedit berita. Sebuah berita panjang diminta untuk diringkas menjadi berita singkat satu paragraf dengan 30 kata dalam empat bahasa, yakni Inggris, Perancis, Spanyol, dan Rusia.
Para pelamar lain menulis lebih dari 30 kata, sedangkan Sosrokartono sukses meringkas berita dalam 27 kata. Maka, dia pun menjadi wartawan perang New York Herald Tribune terbitan Amerika Serikat dan diberi pangkat militer tituler untuk memudahkan tugas meliput Front Barat Perang Dunia I.
Didi Kwartanada mengatakan, Sosrokartono mampu membuat berita dalam bahasa Inggris dan Perancis dengan sempurna. Dia juga menjadi penerjemah resmi di Liga Bangsa-bangsa (Volken Bond).
Sebelum berangkat kuliah ke Belanda, Sosrokatrono menghadap gouvernor generaal (GG) atau Gubernur Jenderal Hindia Belanda W Rooseboom, dengan permintaan khusus agar GG memperhatikan pendidikan rakyat Hindia-Belanda. Semasa di Belanda, Sosrokartono menjadi salah satu pendiri Indische Vereeniging (Perkumpulan Hindia) yang kemudian berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging (Perkumpulan Indonesia) yang pada tahun 1930 dipimpin Muhammad Hatta.
Adapun di Tanah Air, pendirian Boedi Oetomo tahun 1908 juga mendapat sokongan Bupati Jepara, Demak, Temanggung, Karanganyar, dan Kutoarjo. Bupati Jepara dan Bupati Demak adalah keluarga RA Kartini. Betapa besar perhatian keluarga besar Kartini terhadap pendidikan dan pembaruan.
Guru Besar Kajian Perempuan dan Anak Universitas Indonesia, Saparinah Sadli, dalam diskusi Perempuan Melawan Arus di harian Kompas (14 April 2016) menyatakan, jasa-jasa Kartini adalah melawan perkawinan di bawah umur (pada akhir 1800-an, sudah lazim perempuan dinikahkan pada usia 13-14 tahun), memperjuangkan pendidikan kepada masyarakat Jawa, kemudian menyuarakan gagasan untuk kemajuan masyarakat Jawa kepada teman-teman korespondennya di negara-negara Barat.
Mencintai perbedaan
Didi Kwartanada menceritakan sisi-sisi lain Kartini yang tidak terdapat dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang. RA Kartini selain memperjuangkan pendidikan dan kebebasan berpikir, juga sangat mencintai keberagaman (pluralitas).
”Kami ingin benar berhubungan dengan orang-orang dari berbagai bangsa, kepercayaan, dan aliran”, demikian isi salah satu surat Kartini kepada Nyonya Abendanon Mandri, 14 Desember 1902. Kutipan itu dan pandangan Kartini tentang kelompok Arab dan Tionghoa di Hindia Belanda ditulis lengkap dalam buku Surat-surat Kartini karya terjemahan sejarawan Sulatin Sutrisno yang lengkap dan ditambah surat-surat Kartini yang ditemukan di Leiden, Belanda, pada tahun 1980-an.
Didi menuliskan sejumlah simpati Kartini terhadap kelompok masyarakat lain di dunianya masa itu. Semisal pada surat tertanggal 17 Juni 1902 kepada Nyonya De Booij-Boissevain, Kartini sangat terkesan dengan kabar perempuan Tionghoa yang hendak menempuh ujian guru.
Kutipan surat tersebut: ”Hura! Untuk kemajuan! Saya sungguh gembira tentang hal itu! Orang-orang China sangat keras dalam mempertahankan adat: sekarang kita lihat juga bahwa adat yang paling keras dan paling lama dapat dipatahkan juga.”
Ketika itu Revolusi China menumbangkan Dinasti Qing belum lagi berlaku. Meski demikian, modernisasi mulai terjadi termasuk di kalangan masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda.
Lebih lanjut, Kartini menulis: ”Ingin benar saya berkenalan dengan anak-anak China yang berani itu! Ingin sekali saya hendak tahu pikiran, cita-cita, dan perasaan mereka, jiwa mereka. Selamanya saya ingin mempunyai teman China”.
Pada masa itu, sesudah Perang Geger Pacinan (1740-1743) antara koalisi Jawa-Tionghoa dan Belanda, penguasa Kolonial membuat masyarakat jajahan hidup terpisah dalam tiga kelompok masyarakat.
Masyarakat Tionghoa dijauhkan dari Anak Negeri. Tionghoa dan Arab masuk dalam lapis masyarakat tengah yang menjadi perantara antara Yang Dipertuan, yakni Golongan Eropa, dan Anak Negeri, yakni Kaum Bumiputera.
Ayah Kartini dalam Surat Kartini, disebut Didi Kwartanada, memiliki anak angkat berdarah Tionghoa. Namun, tidak dijelaskan lebih lanjut soal nama sosok yang disebut anak angkat tersebut.
Pada suatu kesempatan, Kartini juga pernah berobat ke ”orang pintar” di Kelenteng Welahan. Kelenteng itu menjadi salah satu pusat perlawanan pasukan koalisi Jawa-Tionghoa dalam Perang Geger Pacinan 1740-1743.
Ketika itu, Kartini sakit keras dan dokter Eropa pun tidak bisa menolong. Dia sembuh setelah meminum abu lidi sesaji dari Kelenteng Welahan sebagaimana diceritakan kepada Nyonya Abendanon Mandri tanggal 27 Oktober 1902.
Kartini juga pernah membuat karangan ilmiah panjang tentang perkawinan masyarakat Arab di Rembang dengan judul Het Huwelijk bij de Kodja’s yang dimuat di jurnal ilmiah Bijdragen tot de Taal-Land en Volkenkunde (kini jurnal KITLV).
Dia menulis ketika masih berusia 16 tahun dan tulisannya baru diterbitkan ketika ia sudah berusia 20 tahun. Nama yang dimunculkan dalam jurnal tersebut adalah ayahnya RMAA Sosroningrat. Kartini adalah penulis termuda dan perempuan Indonesia pertama yang menulis di jurnal KITLV yang masih terbit hingga kini.
Kartini memuji masyarakat Arab dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon Mandri dengan perkataan: ”Juga orang Arab dapat mencintai dengan sepenuh jiwa mereka, dan mereka bisa baik!”
Dalam satu suratnya, Kartini menyindir pemerintah kolonial yang diskriminatif, termasuk kepada Golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen), yakni Tionghoa dan Arab, dengan memuji bantuan dermawan (filantrofis) para pengusaha Tionghoa dalam aksi tanggap bencana kelaparan dan kekurangan air.
”Mengapa bantuan yang murah itu hanya datang dari pihak China yang dihina? Mengapa bantuan itu tidak mengalir dengan melimpah kepada kami dari pihak Eropah?”
Kartini juga mengagumi kemajuan pendidikan gadis-gadis keluarga Oei Tiong Ham—Raja Gula dan Konglomerat pertama Asia Tenggara—dalam suratnya dia menulis: ”Semua kenal keluarga itu, kecuali kami”.
Pada 3 Januari 1902, dalam surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini memuji sifat dermawan Oei Tiong Ham yang banyak menolong orang miskin dan mendukung pendidikan bagi keluarga.
Surat Kartini menulis: ”Ayah anak-anak perempuan yang sangat maju. Seorang di antaranya pasti pandai luar biasa dan mempunyai rencana pergi ke Eropah untuk belajar menjadi pengacara. Hebat!”
Didi menjelaskan, sosok anak Oei Tiong Ham yang dipuji Kartini adalah Oei Tjong Lan, sang putri sulung. Kartini juga bersimpati khusus dengan menyatakan: ”Sayang mereka tidak mempunyai saudara laki-laki, kami pasti akan mengambil hatinya.”
Pada surat tanggal 14 Desember 1902 kepada Nyonya Abendanon, Kartini menulis panjang lebar tentang masyarakat Tionghoa dan masyarakat Arab. Kartini memprotes sekat pemisah dan diskriminasi yang ada.
Kecintaan Kartini pada kemajuan, hubungan antarkaum di masa itu dan mengenal berbagai budaya memang melampaui zamannya. Demikian pula ingatan terhadap Kartini dari sudut budaya Perancis yang jarang diungkap.
Jurnalis sejarah Aryono dalam Historia mencatat, Surat-surat Kartini setelah wafat pun menjadi inspirasi dan diterbitkan dalam berbagai bahasa. Selain terbit dalam bahasa Belanda dan Inggris, buku Kartini juga diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis tahun 1960 oleh Louis-Charles Damais. Dunia francophone dan semangat menghargai keberagaman tidaklah jauh dari RA Kartini dan keluarga.
https://kompas.id/baca/utama/2018/04/21/jejak-jejak-lingkungan-intelektual-ra-kartini/