Selasa, 25 Desember 2012

Renungan: 4 Jenis Manusia



oleh Rachmat Cmd pada 31 Agustus 2009 pukul 8:51 ·

INI CATATAN TEMAN SAYA YANG SANGAT BAGUS UNTUK KITA RENUNGKAN BERSAMA -- Rachmat

Ada empat jenis manusia di dunia ini. Ada orang kaya dengan mental
miskin. Ada orang miskin dengan mental kaya. Ada pula orang kaya dengan mental kaya; syukurlah. Namun ada juga -- celaka sekali -- banyak orang
miskin dengan mental miskin. Bukan hanya mental miskin tetapi juga
mental iri hati, dengki, dendam serta amarah yang terpendam.

Tidak ada orang yang mendadak menjadi kaya -- kecuali bila ia dapat
lotere milyaran. Semuanya terjadi lewat usaha dan jerih payah yang keras
dan gigih dalam berusaha dan berkarya. Semuanya selalu mulai dari titik
nol. Dalam bahasa sononya: "from rugs to riches."

Orang miskin kebanyakannya "sangat perhitungan" dalam soal duit-menduit.
Soalnya sederhana saja dan amat sangat dapat dimaklumi. Uangnya hanya
sedikit sekali dan dapat terhitung dengan jari. Kalau ia tidak
pinter-pinter berhemat maka ia pasti akan kesusahan sendiri.

Tetapi sebenarnya tidak ada korelasi langsung antara 'kemiskinan' dengan
'kepelitan'. Kemurahan hati - sebagai lawan dari kepelitan - adalah
masalah mentalitas dan nilai. Mentalitas memberi; adanya arus hati
yang terus ingin mengalir keluar. Bukan sebaliknya, arus hati yang
maunya menyedot segala-galanya dari luar. Hasrat yang ingin memindahkan
seluruh isi Carrefour ke rumahnya -- kalau bisa.

/Jutawan John D. Rockefeller mengakui, "Saya sudah punya jutaan, tapi
saya tidak jadi bahagia karenanya". Jika Anda tidak puas dengan jumlah
kecil, Anda takkan puas dengan jumlah besar. Dan jika Anda tidak murah
hati ketika memiliki sedikit, Anda takkan berubah tiba-tiba ketika Anda
menjadi kaya. [John C. Maxwell, Kemurahan Hati, Interaksara] /

Orang yang menyadari serta menghayati kasih dan kemurahan hati Sang
Khalik, ia tidak akan memelihara mentalitas miskin. Ia tahu bahwa
apapun yang dimiliki serta dinikmatinya semuanya adalah semata-mata
anugerah dari Yang Di Atas. Orang seperti itu juga memiliki nilai
bersyukur dalam hidupnya.

Kalau orang tidak tahu bersyukur atas nikmat Allah, maka ia juga tidak
pernah puas dengan kondisi nyata hidupnya. Entah kondisinya makmur,
apalagi kalau kondisinya melarat. Ia selalu menuntut lebih. Dalam
kamusnya tidak ada kata cukup. Maka ia juga enggan 'berbagi' karena itu
berarti 'mengurangi' apa yang sudah dimilikinya.

Saya tahu kisah seorang milyarder yang membiarkan saudaranya tetap
menjadi tukang Bajaj sementara ia sendiri hidup dengan mewah. Ia
bersikukuh bahwa ia menjadi kaya karena hasil keringat dan usaha
kerasnya sendiri. Dan ia tidak pernah mengemis atau minta bantuan kepada
siapapun. Kalau ia bisa mengapa saudaranya tidak? Mereka hanya malas
saja, kilahnya.

Orang seperti ini pasti tidak mengakui campur tangan Allah dalam
hidupnya. Apalagi mengakui bahwa rezeki itu berasal daripadaNya. Ia
mempunyai hati yang keras dan ia sama sekali tidak memiliki empati,
welas asih dan kemurahan hati.

Untuk maju dan memiliki mentalitas kaya maka orang bergerak dari kuadran
satu [orang miskin dengan mental miskin]. Ia bergerak secara diagonal
menuju ke kuadran empat [orang kaya dengan mental kaya]. Bila gagal
melakukan reformasi mental maka ia akan masuk kuadran dua [orang kaya
dengan mental miskin]. Sebaliknya bila ia gagal dalam usahanya dalam
segi materiil, ia tetap masih bisa masuk kuadran tiga [orang miskin
dengan mental kaya].

Geli hati sekali bila punya teman yang kaya raya tetapi hanya menjamu
kita dengan segelas Teh Botol atau aqua gelas walaupun kita sudah
bernostalgia selama berjam-jam bersamanya. Pada saat makan siang ia
juga pura-pura lupa waktu dan tidak mengajak kita sekedar untuk makan
Bakmi Ayam atau Gado-gado sekalipun. Itulah gambaran ekstrim dari orang
kaya dengan mental miskin.

Sebaliknya, betapa terharunya kita saat kita ketemu kawan lama di desa
dan kedua orang tuanya sibuk melayani kita seperti tamu agung. Walaupun
mereka hanya mampu menyuguhkan segelas teh basi dan biskuit Kuat yang
sudah lama expired. Ketulusan hati yang keluar dari hati yang tulus dan
murah hati selalu menggugah perasaan haru kita. Mau bagaimana lagi,
memang hanya itulah yang mereka miliki tetapi mereka sungguh-sungguh
telah menjadi orang miskin dengan mental kaya.

Andrew Carnegie, industrialis milyarder Amerika Serikat dari abad 19
mengatakan bahwa ada dua tahap penting dalam kehidupan seorang yang
menjadi kaya. Tahap pertama ialah menghimpun kekayaan. Dan tahap kedua
ialah memakai kekayaan itu untuk memberdayakan orang miskin yang
membutuhkan dana dari padanya. [John C. Maxwell, ibid.]

Trilyuner Bill Gates lewat yayasan "Bill and Melinda Gates Foundation"
telah menyumbang jutaan dollar setiap tahunnya bagi kegiatan amal-sosial
di berbagai negara di dunia ini. Inilah salah satu contoh orang kaya
dengan mental kaya.

Harta dunia bukan untuk ditimbun [hoarding] karena hal itu melanggar
hukum keseimbangan alam. Bila seseorang makan dan minum tanpa henti dan
tidak pernah terjadi ekskresi, maka pasti terjadi konstipasi.
Ujung-ujungnya ia harus masuk rumah sakit untuk dipasang catheter atau
tinjanya disedot paksa. Got yang tidak mengalir menyebabkan sedimentasi
dan menimbulkan bau busuk ke mana-mana.

Setiap agama menyediakan outlet untuk memelihara keseimbangan aliran
rezeki tersebut. Maka dikenal perangkat seperti perpuluhan, kolekte,
zakat, fitrah dsb. Semuanya merupakan outlet bukan hanya demi
kepentingan spiritual melainkan juga fisiko-psikologis. Bila hal itu
dilanggar maka alam akan menghukum manusia secara langsung lewat hal-hal
yang membuat manusia itu terpaksa mengeluarkan isi dompetnya.

Lewat penyakit, musibah kecelakaan, kemalingan, kerampokan, kehilangan
dan segala hal yang membuat jalan pintas sehingga uangpun terpaksa
mengalir keluar dari pundi-pundi si lokek yang telah dijahit erat-erat
tersebut.

Alam tidak main-main dalam soal pelanggaran hukum keseimbangan ini.
Bagi kaum agamis dikatakan Allah memberi percobaan bagi manusia tersebut
karena ia tidak bermurah hati kepada sesamanya padahal Allah telah
mencurahkan berkat secara melimpah kepadanya. Allah Yang Mahakaya
dengan mental Mahakaya menginginkan manusia juga memiliki mental kaya,
entah ia kaya atau masih miskin secara materiil. Secara mental manusia
selalu dapat memiliki hati yang empatik, berwelas asih dan rela membantu
sesamanya sekuat kemampuanriilnya. Entah besar entah kecil kemampuannya
tersebut namun pasti ada.

Hanya orang bermental kaya mampu memberikan senyum kepada orang yang
bersirobok dan memberi jalan kepadanya. Atau mengucapkan terima kasih
kepada penjaga lift yang memandunya di dalam lift. Atau mengucapkan
terima kasih kepada penjaga toilet di Mal atau kepada penyobek karcis di
bioskop 21. Semuanya itu tidak membutuhkan duit sepeserpun karena dapat
diberikan dari hati yang terbuka, tulus dan tahu bersyukur serta
berkemurahan hati. [JS]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar