Sabtu, 25 Agustus 2018

Kisah Perfectus

Titimangsa 850 Masehi. Saat itu di tengah musim panas yang hangat. Seorang biarawan alim sedang menikmati hiruk-pikuk kehidupan urban di kota Kordoba (Cordova), Andalusia. Kota yang saat ini merupakan bagian dari Spanyol modern itu adalah pusat kerajaan Islam dari Dinasti Umayyah di negeri barat lama. Kerajaan ini diinisiasi oleh Abdurrahman Ad-Dakhil, sang pewaris takhta terakhir Dinasti Umayyah di timur yang ambruk karena digerogoti oleh Keluarga Abbasiyah.

Biarawan itu bernama Perfectus. Ketika sedang berada di pusat perdagangan dan menikmati aktivitas belanjanya, ia didekati sekelompok anak muda bertampang Arab. Entah iseng atau memang serius, anak-anak muda itu menggoda Perfectus dengan sebuah pertanyaan provokatif. Siapakah di antara dua Nabi yang statusnya terbesar, mana lebih mulia: Yesus atau Muhammad?

Untuk diketahui, sebagai pusat kerajaan Islam, Kordoba menerapkan kebijakan terbuka mengenai heterogenitas agama. Pemeluk Kristen dan Yahudi bebas menganut keyakinan. Aktivitas beribadahnya dilindungi. Kemajemukan merupakan bagian dari karakter Kordoba dan kota-kota lain di bawah Kerajaan Umayyah di barat lama itu. Sangat mengherankan pertanyaan provokatif seperti itu bisa menyeruak ke permukaan.

Sayang nasi sudah menjadi bubur. Pertanyaan sudah diajukan. Harga diri dan keimanan tak bisa lagi ditawar. Sebagai seorang biarawan alim, Perfectus seorang yang jujur. Tapi, ia menyadari posisinya. Maka disampaikan keyakinannya secara sangat berhati-hati. Sayang seribu kali sayang kisah ini tak berakhir bahagia. Entah karena tak mampu menahan amarah atau bisa jadi karena pemicu lain, Perfectus meledak. Ia tiba-tiba membentak dan berteriak-teriak sambil menyebut Nabi Muhammad sebagai dukun klenik, orang sesat dan anti-Kristus.

Karuan saja perkara ini menarik atensi khalayak. Aturannya jelas. Menghina Nabi Muhammad di wilayah kerajaan Islam adalah kejahatan kriminal saat itu. Segera Perfectus dibawa aparat dan dijebloskan ke dalam gaol (penjara). Awalnya hakim memutus bebas. Hakim berpendapat, ucapannya itu bukan timbul dari kesadaran melainkan buah provokasi. Kata-kata dari bibir seringkali tak terkendali saat seseorang diselimuti amarah tidak dapat dijadikan landasan vonis. Sebuah keputusan hukum yang sangat bijak dan berhati-hati.

Namun, entah kenapa Perfectus malah berulah. Setelah bebas ia mengulangi lagi perbuatannya. Kali ini tanpa provokasi. Perfectus dengan sadar dan tanpa tedeng aling-aling menyebut Nabi Muhammad dengan istilah-istilah yang sangat kasar. Akibatnya, hakim tidak punya pilihan selain menghukumnya. Perfectus dieksekusi mati.

Ishaq, biarawan lain tersulut. Ia memprotes keras eksekusi itu. Di depan hakim ia menyerang Nabi Muhammad dan Islam sedemikian rupa. Hakim menamparnya karena mengira Ishaq sedang mabuk. Tapi, Ishaq bergeming. Ia terus-menerus melakukan penghinaan itu sehingga hakim tak punya pilihan selain mengeksekusinya juga. Ishaq menjadi korban kedua.

Kedua peristiwa itu menyulut amarah besar dari umat Kristiani dan menginspirasi mereka untuk melawan. Perfectus dan Ishaq disemati gelar pahlawan atau martir. Berturut-turut, para martir baru hadir. Sejarah mencatat, hanya di musim panas itu saja paling tidak terdapat 50 martir mati dieksekusi. Mereka dalam sejarah dikenal sebagai Martir Kordoba. Peristiwa yang kemudian menggerogoti kerajaan dan menjadi cikal bakal runtuhnya Dinasti Umayyah di Andalusia.

***

Titimangsa 1888 Masehi. Indonesia belum lahir. Banten masa itu masih hidup di bawah kekangan dan penjajahan kolonial Belanda. Satu waktu tersiar kabar di bawah tanah bahwa pejabat pemerintah Belanda bertindak zalim kepada umat Islam. Larangan mengumandangkan azan yang diperbincangkan dengan riuh. Penyebabnya karena istri Johan Hendrik Hubbert Gubbels bernama Anna Elizabeth van Zutphen menderita sakit kepala kronis.

Suara azan yang dikumandangkan dari masjid yang terletak di tanah pribumi tak jauh dari tempat tinggalnya semakin mengusik sakitnya. Gubbels adalah asisten residen di Anyer, pejabat yang berwenang. Tapi, larangan azan ternyata hanya awalan. Desas-desus lain muncul. Kabarnya selain azan juga muncul larangan untuk jenis ibadah lain yang aktivitasnya bersuara keras seperti zikir, pesta perkawinan dan khitanan dengan arak-arakan, hingga takbiran.

Sontak saja hal itu membakar amarah umat Islam. Emosi yang selama ini terpendam akibat larangan azan kini semakin menguat dan dampaknya meluas. Ketegangan yang dimotori oleh ketidaksepahaman keyakinan pribumi dengan pejabat kolonial yang berkuasa itu kemudian meletus menjadi pemberontakan yang dikenal sebagai Geger 1888. Pada peristiwa itu, Gubbels dan anak-istrinya terbunuh. Jumlah korban jiwa dari pribumi jauh lebih banyak.

***

Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dikenai pasal penistaan agama karena kalimat sensitif dalam pidatonya di Kepulauan Seribu saat masih menjabat Gubernur DKI Jakarta. Peristiwa "Al Maidah 51" yang kemudian melahirkan gelombang protes hingga demo yang dikenal dengan "212". Hal itu mengejutkan banyak pihak. Para pendemo berasal dari lintas kalangan dan ormas. Harga diri umat tercolek. Ahok kemudian divonis bersalah. Hingga saat ini Ahok masih menjalani hukumannya.

Berbeda dengan Ahok, Meiliana bukanlah seorang pejabat. Bila Ahok diyakini terkena efek politisasi menjelang pilgub, Meiliana dianggap korban dari ketidakadilan sistem hukum di negara ini. Persoalan lama yang masih belum terpecahkan. Meiliana, seperti Gubbels dan Ahok, menjadi korban konfrontasi yang lahir dari isu primordial antara "pribumi" versus "orang yang dianggap liyan".

Meiliana sebagai penganut Buddha dan warga negara keturunan China, seperti ungkapan para saksi di pengadilannya, dianggap telah melecehkan azan yang merupakan bagian dari ajaran Islam. Meiliana pada satu siang mendatangi tetangganya yang muslim dan memprotes, "Kak, tolong bilang sama uwak itu, kecilkan suara masjid itu, Kak sakit kupingku, ribut." Meiliana divonis 18 bulan penjara oleh hakim, melengkapi 147 vonis penistaan agama sejak 2004.

Meiliana bukan Perfectus yang hidup di bawah naungan kerajaan Islam. Meiliana juga bukan Gubbels yang diperangi karena melarang azan dikumandangkan. Kasus Meiliana mirip Ahok. Terjadi karena kesalahpahaman yang tidak bisa diselesaikan secara damai. Lalu dibawa ke pengadilan. Sayangnya, aturan hukum yang menangani persoalan seperti ini masih gagal menghadirkan solusi yang adil bagi para pihak yang bersengketa.

Persoalan ini bukanlah remeh-temeh seperti dianggap beberapa pihak. Menuding lemahnya rasionalitas jamaah masjid dalam menerima kritik agama dan juga arogansi mayoritas sebagai dalang di balik kasus-kasus serupa tidak akan membawa kasus ini ke arah yang lebih baik. Yang semestinya perlu dihadirkan adalah saling pengertian di antara para pihak.

Kasus Perfectus menggambarkan suasana kebatinan umat Islam. Menghina ajaran berkonsekuensi berat. Hal ini bisa jadi tidak terdapat di agama lain. Sehingga kasus Meiliana menjadi masuk akal. Meiliana yang merasa tidak sedang menghina ajaran agama tetapi sedang mengkritik perilaku penganut itu dipahami berbeda karena sejarahnya yang berbeda. Ucapan Meiliana yang sebenarnya rasional itu menjadi tak lagi bisa diterima karena suasana kebatinan yang sifatnya sakral itu.

Di internal umat Islam perlu ada otokritik. Doktrin keagamaan harus dipisahkan dengan realitas. Kritik terhadap perilaku umatnya tidaklah sama dengan kritik terhadap agama itu sendiri. Tak kalah pentingnya adalah peneladanan atas sikap hakim yang memilih membebaskan Perfectus pada peristiwa provokasi itu. Kebijaksanaan dan kehati-hatian perlu dikedepankan.

Memahami bahwa mereka yang berbeda keyakinan memiliki pengalaman yang tidak sama terhadap ajaran agama juga penting untuk dilakukan. Namun, yang terpenting persoalan seperti ini sebaiknya diselesaikan lewat jalur damai, bukan melalui jalur pengadilan. Kehidupan saling bersinergi antarumat beragama harus menjadi tujuan bersama. Saya berharap pihak-pihak terkait mau duduk bersama membahas mekanismenya.

Jika pun harus lewat pengadilan maka pasal-pasalnya perlu direvisi agar pengenaan pidana hanya diterapkan pada penghinaan yang sifatnya tafsir-tunggal. Kita bisa ambil contoh yaitu sengaja membakar atau menginjak kitab suci dengan maksud melecehkan. Atau, perilaku lain yang serupa.

Semoga tidak ada Meiliana lain esok hari, lusa, atau kapan pun nanti. Itu demi masa depan bangsa ini agar tidak runtuh seperti halnya Dinasti Umayyah di Andalusia.

现代中文

【现代语言迅速变异中】 退休教师老季,被女儿批评太落伍,患上了现代语言表达障碍综合症,老爸不服,女儿当场给他出了三道题,让他试着回答,说是要看看他有没有现代语言表达障碍。这位老爸信心十足说,我有35年的教龄,应该没问题,请讲。

第一道题:现在“开会”怎么讲?老人回答说:“我活了六十多年,开会就叫开会。”女儿说:“错!应该叫论坛。”

第二道题:现在“瘦弱”怎么讲?老人回答说:“瘦弱就是身体瘦、体质弱。”女儿说:“错!应该叫骨感。”

第三道题:现在“包工头”怎么讲?老人回答说:“包工头就是小工程项目的负责人。”女儿说:“错!应该叫项目经理。”

然后,女儿用非常严肃的口吻对老爸说:“按照上面的测试,说明你已经有很严重的现代语言表达障碍了!说话词不达意,已经是接近思想僵化、知识退化、脏器老化、等待火化的人了!

我现在先出一些练习题给你回家做做,可能对你有点好处。”
听完女儿的话,老教师心里想:“唉,想不到活了六十多岁了,被女儿这么一说,我居然还没有学会讲话?!可我桃李满天下,却怎么落下个连这么简单的问题都答错呢?可见退休后“痴呆”程度之严重啊!”

以下特附女儿给老爸布置的相关练习题,也请新老人的朋友们,自行测试一下:
1、单位现在怎么讲——叫机构;
2、集体现在怎么讲——叫团队;
3、目录现在怎么讲——叫菜单;
4、计划现在怎么讲——叫路线图;
5、领导现在怎么讲——叫老板。
6、秘书现在怎么讲——叫小秘;
7、地主现在怎么讲——叫大赢家;
8、资本家现在怎么讲——叫企业家;
9、暴发户现在怎么讲——叫土豪;
10、农民工现在怎么讲——叫外来建设者。
11、半老徐娘现在怎么讲——叫资深美女;
12、嫁不出去现在怎么讲——叫剩女;
13、八卦新闻现在怎么讲——叫秘闻;
14、桃色新闻现在怎么讲——叫绯闻;
15、奸情现在怎么讲——叫劈腿。
16、结伴出游的人现在怎么讲——驴友;
17、传经布道现在怎么讲——叫心灵鸡汤;
18、争论现在怎么讲——叫对话;
19、辞职现在怎么讲——叫跳槽;
20、贪官污吏现在怎么讲——叫老虎苍蝇。
21、减肥现在怎么讲——叫塑身;
22、滋补现在怎么讲——叫养身;
23、用餐现在怎么讲——叫饭局;
24、甩手跺脚现在怎么讲——叫广场舞;
25、痛快现在怎么讲——叫爽歪歪。
26、发疯现在怎么讲——叫非理性亢奋;
27、关系密切现在怎么讲——叫零距离接触;
28、同吃同住现在怎么讲——叫资源共享。
29、意见合一现在怎么讲——叫共识;
30、你我受益现在怎么讲——叫双赢。
31、用尽了全部力量怎么讲__洪荒之力

哈哈哈,真是太有意思了,一定要发给我的朋友们看看!
不对,不应该叫朋友,像我们这样长达几十年的友情关系,现在应该叫“战略合作伙伴”啦!