Rabu, 04 Desember 2019

YESA : WARRIOR CANCER.



Oleh : Birgaldo Sinaga.

Seorang pengendara mobil menghentikan kendaraannya. 
Ia memarkirkan mobilnya tidak jauh dari lapak penjual kacamata, di pinggir- an perempatan jalan kawasan Bumi Serpong Damai Tangerang.

Ia turun. 
Berjalan melangkah ke pedagang kacamata yang menggelar dagangannya dalam mobil. 
Pria itu mengambil kacamata hitam.
Satu persatu dicobanya. 
Ada dua model yang disukainya. 

Si penjual kacamata dengan ramah melayani.
Ia menawarkan beberapa model. 
Ada polaroid. 
Ada kacamata model pilot Top Gun Tom Cruise.

Deal. 
Dua kacamata  hitam berpindah tangan. Harganya cukup murah. 
Satu buah 35 ribu rupiah saja.

Saya berdiri hanya 4 langkah dari lapak si penjual kacamata. 
Melihat transaksi dagang di sore hari kemarin.

'Hai Bang Bir...sudah hampir mau tutup ini. 
Baru nyampe Bang.. saya tunggu2 dari tadi', ucap Yesa si penjual kacamata sumringah. 

Yesaya Fermindi Hohu. 
Nama si pemilik lapak kacamata itu. 
Akrab dipanggil *Yesa*.

Sebelumnya, saya sama sekali tidak mengenal Yesa.
Ia follower saya.  
Beberapa waktu lalu ia mengirim pesan. 
Pesan tentang suara hatinya yang begitu bening...tentang harapannya. 

Apa itu ?

Yesa divonis dokter terkena kanker stadium 4. 
Bermula dari benjolan payudara kanannya pada 2014 lalu. 

Benjolan itu diperiksa dokter puskesmas. 
Dua kali. 
Tapi Yesa tidak merasa sakit pada benjolan itu. 
Dianggap tidak apa2.

Suatu hari, Yesa pingsan, tidak sadarkan diri. 
Yesa dilarikan ke RS Pamulang. 
Tidak sanggup. 
Lalu dilarikan ke RS Tangerang. 
Juga menyerah.

Akhirnya Yesa dibawa ke RS Dharmais, Rumah sakit khusus kanker.

Tesa diperiksa. 
Ternyata kanker sudah menyerang hampir semua tubuhnya. 
Payudara, tulang, kelenjar getah bening, rahim. 

Yesa shock. 
Langit bak runtuh menghantam semua tubuhnya. 
Ia menangis ber-hari2. 
Terbayang anak bungsunya Fermindi Risma Rosdiana yang masih berumur  4 tahun. 
Siapa yang bakal merawatnya ? 

Tahun 2010, Yesa ikut arung jeram di Sukabumi. 
Di desa itu Yesa bersama genk arung jeram menikmati derasnya air sungai.
Yesa menyukai arung jeram.

Di desa itu Yesa berkenalan dengan seorang perempuan. 
Perempuan yang sedang hamil. 
Tapi tidak ada calon ayah jabang bayinya. 
Pergi entah kemana. 

Yesa mengajak perempuan itu ke Tangerang. 
Di desa itu perempuan itu sudah tidak nyaman lagi tinggal.

Dua bulan di Tangerang, perempuan itu melahirkan bayi mungil perempuan. 
Usai melahirkan, perempuan itu meninggalkan bayinya. 
Pergi begitu saja. 
Meninggalkan bayi perempuan di gendongan Yesa.

Yesa berusaha mencari. 
Tapi perempuan itu menghilang, sampai sekarang.

Yesa bingung. 
Ia masih lajang. 
Belum menikah. 
Bagaimana ini ?

Yesa meminjam Kartu Keluarga kakaknya. 
Jadilah Risma terdaftar di keluarga kakaknya. 
Untuk merawat, mengasuh dan membesarkan tanggung jawab Yesa sepenuhnya.
Susu bubuk pengganti ASI diberikan buat bayi Risma. 
Risma seperti anak kandung Yesa. 

Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. 
Kanker ganas yang menyerang Yesa meruntuhkan semangatnya. 
Terbayang bakal gelap dan kelam hari2 ke depan. 
Awan hitam menggelayut di pelupuk mata Yesa.

Berminggu2 lesu, tapi Yesa akhirnya sadar. 
Hidup ini sudah ada takdirnya. 
Ia pasrah. 
Ia kembali berjuang. 
Berjuang untuk hidup adalah satu2nya jalan untuk bangkit dari pada meratapi diri.

Malam hari, di kamar rawat inap...diatas ranjang Rumah Sakit. 
Saat tidak bisa bergerak, Yesa berdoa.

'Ya Tuhan....saya serahkan semua ini ke dalam tanganMU. 
Namun  jika ENGKAU masih perkenankan saya bisa kembali berjalan, saya berjanji akan bekerja keras untuk menolong orang yang lebih susah hidupnya dari saya'.

Yesa tahu kanker yang sedang dihadapinya tidak akan bisa hilang. 
Stadium paling tinggi, stadium 4. 
Sudah menyebar ke seluruh tubuhnya. 
Umurnya tidak lama lagi. 
Setidaknya begitu fakta empirisnya.

'Bang Bir..tahu gak saya ini perempuan yang sudah tidak perempuan lagi.
Payudara sudah diangkat. 
Rahim juga sudah diangkat. 
Lucu ya', ujar Yesa menertawai keadaannya.

Awal penyembuhan- nya, dokter fokus pada organ tulangnya. 
Payudara Yesa dibiarkan, sampai pecah sendiri. 
Setelah tulang bisa dikendalikan, barulah payudara dan rahimnya dioperasi.

Sudah puluhan kali kemotrapi. 
Sudah puluhan kali radiasi. 
Sudah entah berapa banyak obat ditelan Yesa. 
Tak terhitung. 

Setiap hari Yesa harus menelan obat sejenis morfin, agar rasa sakit yang menyerang sarafnya bisa reda. 
Juga obat lainnya. 
Jika tidak bisa tidur, Yesa menelan obat tidur. 
Yesa harus tidur, agar esoknya bisa berjualan kacamata.

Awalnya Yesa menyambung hidup dengan menjadi supir taksi online. 
Bagaimanapun hidup butuh uang. 
Yesa tidak mau me-minta2.
Yesa juga sudah berjanji sebagian rezekinya itu akan diberikan untuk teman2 senasib sepenanggungan yang lebih susah hidupnya.

Suatu hari, saat mencari penumpang mendadak Yesa blank. 
Yesa menabrak toko Indomaret. 
Mobilnya penyok. 
Yesa pingsan. 
Yesa dilarikan ke Rumah Sakit.

'Untunglah tidak ada yang celaka Bang Bir. 
Saya blank waktu itu. 
Tiba2 gelap dan saya pingsan', ujar Yesa mengenang peristiwa pahit itu.

Sejak kejadian itu, Yesa berganti pekerjaan. 
Uang 700 ribu jadi modalnya berjualan. 
Ia membeli kacamata di Pasar Senen. 

Kacamata itu dijualnya di tempat keramaian. 
Anaknya Risma dititipkan ke kakak kandungnya. 
Ia tidak sanggup lagi merawat anaknya. 

Setiap pagi pukul setengah tujuh Yesa sudah membuka dagangannya di perempatan BSD. 
Ia tidak mau bermalasan. 
Meskipun tubuhnya kadang tersiksa, Yesa tidak peduli.

'Ada orang2 yang harus saya bantu Bang Bir. 
Keuntungan jualan ini saya sisihkan sebagian untuk mereka. 
Membelikan kursi roda', ucap Yesa.

Janji Yesa saat memohon kepada Tuhan agar bisa berjalan kembali itu menguatkannya untuk terus kuat dan produktif. 
Yesa bersyukur sepuluh jari dan kakinya masih ada.

'Di Cengkareng ada teman saya kakinya sudah diamputasi Bang Bir. 
Hidupnya lebih parah dari saya. 
Saya main kerumah- nya membawa kursi roda. 
Rumahnya sungguh memprihatinkan. 
Saya masih bersyukur bisa punya kaki dan tangan', ucap Yesa.

Saya terdiam mendengar kata2 Yesa. 
Rasanya kalimat itu  bak  satu ember air es menyiram wajah saya. 

Bayangkan, saya masih suka mengeluh. 
Suka merasa tidak beruntung. 
Suka merasa kalah. 
Suka menggerutu.

Sedangkan Yesa seorang perempuan lajang yang terkena kanker ganas sekujur tubuhnya sejak 5 tahun lalu menjalani hari2nya dengan bersyukur. 

Malahan ia bekerja keras sejak matahari belum terbit. 
Lalu pulang menjelang matahari terbenam. 
Semua dilakoninya dengan gembira, karena ada orang2 yang membutuhkan uluran kasihnya. 

Sudah puluhan kursi roda dibagikan ke teman2 seperjuangan kanker. 
Semua itu dari peluh keringatnya berjualan kacamata.

Saya benar2 merasa kecil dihadapan Yesa. 
Yesa si Warrior Cancer ini benar2 memberi tamparan keras. 

'Woii..elo yang punya badan sehat bugar masih bangun jam 9 pagi...masih malas2an.
Masih suka mengeluh. 
Bagus mati aja elo..gak berguna hidup. 
Membebani bumi aja'. 

Di dalam mobil Yesa ada satu tas berisi obat-obatan.
Obat2an ini harus stand by. 
Jika terjadi sesuatu, Yesa harus meminumnya. 
Telat sedikit bisa berabe. 

Pernah Yesa lupa minum obat, akhirnya Yesa pingsan dalam mobil. 
Untungnya kakak kandung Yesa tahu. 
Yesa berhasil diselamatkan.

'Apa rencana kamu ke depan Yesa...kamu gak bosen hidup dengan kondisimu seperti ini !?', tanya saya.

'Bosen ? Ya tidaklah Bang. 
Hidup ini harus disyukuri. 
Di sana lebih banyak yang tidak seberuntung saya. 
Lihat ini saya masih punya tangan dan kaki. 
Masih bisa bekerja. 
Masih bisa membantu teman2 saya yang kekurangan', ujar Yesa semangat.

'Tapi setiap hari menahan rasa sakit dan tidak mungkin sembuh lagi untuk apalagi bertahan ?', potong saya.

Yesa menarik nafas. Ia terdiam.
Lalu berkata :
'Raga saya bisa digerogoti kanker. 
Tapi jiwa dan semangat saya tidak akan pernah bisa dikalahkan. 
Saya akan berjuang untuk hidup terus karena ada janji saya untuk mereka yang hidupnya lebih susah dari saya', ujar Yesa serius.

Saya memandang wajahnya. 
Lingkaran kelopak matanya sedikit menghitam. 
Ada nafas naik turun seperti tersengal. 
Tapi spiritnya yang luar biasa itu menutupi keletihan dan rasa sakit tubuhnya. 
Ia seperti berjalan di atas onak duri tanpa merasa kulitnya tertembus duri.

Mentari sore di ufuk barat sudah semakin tenggelam. 
Sebelum berpisah, Yesa memberi hadiah kenang2an buat saya, sebuah kacamata model pilot Top Gun dan sebuah sarung tangan.

Saya mengambil gitar. 
Tak ada yang bisa saya berikan untuknya.

'Kita nyanyi apa Yesa ? *Nyanyi Hidup Ini Adalah Kesempatan* ya', ajak saya.

'Ohh..saya gak tahu Bang Bir lagu itu. 
Saya kan muslim'.

'Alamakkk...namamu Yesaya..itu nama Nabi Israel. 
Nama orang Kristen', balas saya sedikit terperanjat.

'Gak tahu Bang... memang itu nama pemberian ayah saya..coba liat ini KTP saya', ujar Yesa sambil menunjukkan KTPnya.

Ya uwislah. 
Apalah arti sebuah nama. 
Itu kata Shakespear. 
Bunga mawar meskipun berduri tetaplah harum mewangi...Ye kann..

Akhirnya karena saya tak hapal lagu Tombo Ati ciptaan Opick... saya dan Yesa sepakat menyanyikan lagu Cinta Yang Tulus.
Lagu kebangsaan saya....Hahaha.

Usai bernyanyi bareng, saya pamit. 
Memeluknya seraya berbisik :
*Tahu gak..Malaikat di atas sana takjub pada ketangguhan & kebaikan hatimu .... tetap semangat ya Yesa.*

Salam perjuangan penuh cinta.

Birgaldo Sinaga.

Note : 
Buat teman2 yang jika butuh kacamata bisa membeli langsung ke Yesaya ya... ini no WAnya.

+62 856-9495-7286