Kamis, 30 Agustus 2018

John Lie

Informasi sejarah RI. Mengenang Laksamana Muda John Lie. LIE
Namanya John Lie, Lengkapnya: John Lie Tjeng Tjoan, anak kedua dari delapan bersaudara, pasangan Lie Kae Tae dan Oei Tseng Nie.
Ayah John adalah pengusaha pengangkutan berbagai barang dagangan yang terkenal di Manado, Sulawesi Utara, semasa negara ini belum merdeka.

Sebagai anak laki-laki, John tak tertarik pada bisnis transportasi. Ia lebih senang pada kapal, pelayaran dan laut yang penuh tantangan. Tak heran, bila bocah kelahiran Manado, 11 Maret 1911, ini senang betul tatkala iring-iringan kapal perang gugus tugas AL Belanda sandar di pelabuhan Manado untuk istirahat. Lie ingin melihat lebih dekat kapal-kapal hebat ini.

Darahnya menggelora. Padahal ia baru 10 tahun. Terkagum-kagum ia melihat turet meriam, anjungan kapal yang gagah dan seragam AL yang putih mengkilat.

Usia 17 hasratnya untuk mengenal laut tak bisa lagi terbendung. Dengan uang tabungan,  John nekad kabur menuju Jakarta. Tak memiliki sanak saudara, di Tanjung Priok ia luntang-lantung. Demi menyambung hidup ia bekerja sebagai kuli angkut barang, sambil ikut kursus pelatihan soal navigasi kapal.

Lie sempat jadi pesuruh di sebuah kapal jasa paket milik Belanda, sebelum akhirnya masuk sebagai pelaut di Kapal Motor Tosari yang melayani pelayaran ke luar negeri.
Perang Dunia Kedua pecah dan KM. Tosari dijadikan kapal perbekalan bagi tentara sekutu. Di kapal inilah Lie diajari dasar-dasar militer, agar bisa membela diri. Termasuk teknik-teknik menghindar dari pengejaran, yang kelak sangat berguna bagi tugasnya.

Sesampainya di tanah air, Mei 1946, Lie langsung mengabdikan diri pada Angkatan Laut Republik Indonesia, yang waktu itu masih bernama BKR LAUT (Badan Keamanan Rakyat) dan bertemu dengan pimpinannya, Laksamana Mas Pardi di markas besarnya di Jogjakarta.

Sebentar. Markas Angkatan Laut di Jogjakarta? Jauh dari pantai?
Begitulah faktanya, AL kita pernah bermarkas di kota yang jauh dari laut! Tal ada pelabuhan di Jogjakarta. Sebagian besar kapal-kapal kita sudah dihancurkan Belanda! Masa-masa yang sungguh kelam dan membuat pilu hati. Markas AL pun mengungsi!

Mas Pardi, langsung terkesan dengan pengalaman Lie dalam dunia pelayaran hingga manca negara.
“Kita kurang personil. Kamu mau pangkat apa? Mayor?” tanya Bapak Angkatan Laut Republik Indonesia itu.
Lie langsung menjawab: “Saya kemari tidak mencari pangkat. Saya hanya ingin mengabdi”
Akhirnya, Lie mendapat pangkat kelasi III dan di tempatkan di Cilacap, sebuah kota pelabuhan di Jawa Tengah bagian selatan.

Lalu, tantangan baru pun muncul. Sebuah kapal dagang besar berbendera Singapura penuh muatan karet sebanyak 800 ton milik negara, hendak diselundupkan ke Singapura dan hendak dijual di sana.
Kapten kapalnya takut. Ia tahu, di tengah jalan pasti akan dicegat kapal perang Balanda. Dengan kapal penuh muatan begitu, lajunya jadi lambat, sulit untuk lari menghindar.
Lie mengambil tantangan itu, menggantikan sang kapten. Dan mulai berlayar keluar Cilacap. Memasuki selat  Sunda, semua lampu penerang (navigasi) ia matikan dan melaju lurus menuju Kota Singa. Lie sukses mengantarkan muatan!

Dari sanalah peran ‘penyelundup bagi Negara’ bermula. Ia biasa membawa barang dagangan milik saudagar besar dari Aceh, Sumatera Utara, Kepulauan Riau dan selalu sukses dijual ke Singapura, Malaysia atau Thailand. Para pedagang ini pun tak sungkan menyisihkan sebagian keuntungan bagi Republik yang masih belia.

1947 ketika negara berhasil membeli 10 kapal cepat, Lie pun mendapat salah satu diantaranya. Ia memberi nama kapalnya “Outlaw” bisa diartikan sebagai: berandalan, bengal, badung atau tak tahu aturan.
Dan dari perjuangan Lie kemudian kita tahu: semua sepak terjangnya tidak ada dalam aturan baku!

Tugasnya mentereng: menyelundupkan barang dagangan ke negara asing, menjualnya, dan uangnya lalu dipakai buat membeli aneka macam senjata: pistol, senapan mesin, amunisi, peluru, granat hingga mortir.
Lie ‘belanja’  di pasar gelap, lalu menyelundupkannya masuk ke negara ini setelah lebih dahulu selalu berhasil mengelabuhi cegatan AL Belanda, Inggris dan Amerika.
Senjata-senjata inilah yang kemudian disalurkan ke berbagai daerah perjuangan di seluruh Indonesia guna melawan Belanda!

Tak heran bila senjata milik pejuang kita -dahulu- bisa beraneka macam bak permen nano-nano. Sebagian hasil merebut dari musuh dan sebagian besar adalah hasil selundupan. Ada Sten buatan Inggris, Luger pistol Jerman, Browning Amerika, senapan mesin Sovyet. Pendeknya ada uang, ada barang!

Lie bukan penyelundup biasa. Ia ‘sakti’. “Berandal “ ini diberi kebebasan luar biasa untuk bergerak. Jangan kaget ia dibekali surat tugas -menyelundup-langsung dari Kolonel Abdul Haris (AH) Nasution, selaku wakil Panglima TKR (Tentara Kemanan Rakyat) atau orang kedua setelah Panglima Besar Soedirman!
Selain itu pelaut ini juga mengantongi ‘surat ‘pengantar’ dari semua tetua/ tokoh suku di Sumatera Utara dan Aceh agar ia tidak diganggu!

Lie disukai semua kalangan. Bagaimana tidak? Saudagar menyayangi dia, sebab dagangannya laku dengan baik di luar negeri. Penerima barang di Singapura dan Malaysia juga suka, karena Lie selalu membawa barang terbaik.
Pedagang senjata, apalagi. Matanya yang sipit, karena ia memang keturunan cina, memudahkan Lie masuk ke berbagai kalangan dunia hitam penjual senjata.
Ia yang juga seorang Nasrani yang taat, yang juga diterima di kalangan saudagar berkulit putih. Sempurna sekali.

Buat TNI? Besar jasanya. Sebagian besar senjata untuk perjuangan, yang dimiliki TNI,  salah satunya berkat pengabdian dan perjuangan Lie dalam menyelundupkan senjata.

Lie terkenal. Ia diburu oleh AL Belanda, AL Inggris dan Amerika, tapi Outlaw selalu bergerak  dengan senyap. Menghilang ditelan gelapnya malam. Ia hapal semua dangkal dalamnya perairan. Kapan pasang dan surutnya laut. Pintu masuk jalan tikus semua pelabuhan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Singapura, Malaysia bahkan hingga ke Thailand! Berlayar dalam gelap, tanpa lampu penerang (navigasi), sudah biasa baginya.

Orang-orang di Selat Malaka sampai menjulukinya sebagai ‘Hantu Malaka’ dan wartawan BBC yang pernah ikut memburunya menyebut kapal Outlaw dan kaptennya, John Lie, sebagai “the black speed boat”.
Di Phuket, Thailand, Roy Rowan wartawan majalah Life terbitan Amerika, membuntuti sepak terjangnya dan memuat dalam tulisan dan foto menawan sepanjang 4 halaman penuh. Roy kagum pada dedikasi Lie, yang membawa begitu banyak uang kontan tetapi tetap terpakai sebagaimana mestinya, belanja senjata!

Perjuangan tak selamanya lancar.
Ketika Lie hendak keluar dari Labuan Bilik, sebuah pelabuhan di Malaysia, tiba-tiba sebuah pesawat Belanda terbang rendah, melintas tepat di samping kapal seperti hendak memeriksa, lalu di ujung sana tiba-tiba pesawat mendaki dengan cepat. Pilotnya seperti disadarkan, bawah kapal cepat di bawah sana adalah kapal penyelundup yang selama ini dicari. Ia harus segera bertindak.

Persawat mendadak berbalik dan menukik tajam. Ia siap menyerang! Lie sudah pasrah, tutup mata dan berdoa. Ia terpergok siang hari, di laut terbuka, tak ada pelindung apapun. Pesawat menukik cepat. Tepat disaat picu senjata hendak ditekan penembak, sang pilot iba-tiba membanting kemudi ke kanan lalu pergi.
Belakangan diketahui, bahan bakar pesawat sangat menipis, diperkirakan tak bisa terbang hingga pangkalan bila ia harus menembaki kapal. Outlaw selamat.

Di Selat Malaka ia hampir mati, ketika kapal cepat Belanda mencegatnya dan  langsung memberondong dengan peluru Bofors sebesar senter. Lie segera melaju cepat , tetapi peluru terus mengejarnya.
Rasanya, keberuntungannya akan habis disini. Otlaw berlari zig-zag dan senapan mesin kapal dibelakang terus menyalak. Tak ada pilihan lain, ia memerintahkan anak buahnya berdoa. Kapal kalah cepat karena penuh senjata dan mesiu. Rasanya, tinggal menunggu ajal. Satu peluru saja masuk lambung kapal, tamat.
Tiba-tiba, entah mengapa, hujan turun dengan deras, laut pun mendadak bergelombang tinggi dan kabut turun. Ini kesempatan baik. Lie berbelok tajam dan segera menghilang!

30 September 1949, Lie mendapat tugas baru, mengisi sebagai perwira di Pos Hubungan Luar Negeri di Bangkok. Ia tugas di darat. Ironisnya kapal Outlaw yang pindah tangan ke Kapten Kusno tertangkap Belanda tepat di hari pertamanya berlayar!
Kisah heroik Outlaw pun berakhir.

Ketika perang dengan Belanda usai, dan banyak pemberontakan terjadi di berbagai daerah, John Lie kembali bertugas di laut. Ia membawa kapal pengangkut milik TNI-AL dan melayani mengangkutan logistik dan pasukan yang bertugas memadamkan pemberontakan RMS yang bermarkas di kota Ambon, Maluku.

Desember 1966 John Lie mengakhiri karirnya di Angkatan Laut dengan pangkat terakhir Laksamana Muda (bintang dua - setara Mayor Jendral pada Angkatan Darat).
Jendral Besar AH. Nasution memberi kesaksian, “jasa John Lie tiada tara besarnya bagi AL, karena ia adalah Panglima Armada AL di saat negara sedang dalam keadaan genting menghadapi pemberontakan di berbagai daerah, seperti pemberontakan RMS di Maluku, PRRI/ Permesta di Sumatera Barat, Makassar dan Sulawesi Utara”

Lie terpaksa mengganti namanya menjadi Jahja Daniel Dharma karena rezim orde baru yang tidak menyukai nama-nama berbau asing.
Totalitasnya dalam mengabdi membuat ia terlambat untuk menikah. Ia menyunting Pdt. Margaretha Dharma Angkuw, diusianya yang ke 45 tahun!

Pasangan Lie dan Margaretha mengisi hari-harinya dengan mengurus dan menyantuni ratusan anak yatim piatu, orang-orang terlantar di jalanan, pemulung, tukang becak dan kaum papa lainnya. Harta dan uang pensiuannya habis untuk membantu mereka. Rumahnya selalu penuh oleh mereka yang minta tolong.

Pasangan ini tidak dikaruniai keturunan hingga Lie wafat pada tanggal 27 Agustus 1988 karena stroke dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Pada 10 November 1995, Lie memperoleh Bintang Mahaputra Utama dari Presiden Soeharto, dan Presiden SBY memberinya gelar: Pahlawan Nasional Pada 9 November 2009.
Nama Lie juga diabadikan menjadi nama kapal perang, KRI (Kapal Republik Indonesia)  John Lie, dengan nomor lambung 358, sebuah kapal perang jenis Korvet, kapal cepat, jenis yang cocok dengan karakter Lie saat dahulu membawa Outlaw!

Saat Lie wafat, rumahnya dipenuhi banyak tentara yang menjaga dengan penuh hormat dan Presiden Soeharto sendiri pun datang melawat, barulah ratusan pemulung, yatim piatu, tukang becak, gelandangan dan kaum papa lainnya tersadar: bahwa orang yang selama bertahun-tahun merawat mereka dengan harta benda milik pribadi, tanpa gembar-gembor, ternyata bukan orang sembarangan, ia seorang Pahlawan Negara!
Isak tangis warga tersisih tak tertahankan, ketika iring-iringan mobil Jenazah berangkat menuju makam, tempat Lie istirahat untuk terakhir kalinya.

Hari ini, 27 Agustus 2018, tepat di hari kepergianmu, Lie, saya pun mengenangmu, agar perjuanganmu tak sia-sia. Orang yang hebat. Yang rela berkorban apa saja demi tegaknya NKRI.
Ketika kita -saudara sebangsa- berselisih karena SARA, saya sedih, ingat Lie.

Dari berbagai sumber,
(Gunawan Wibisono)
#pahlawannasional
#johnlie
#sejarahnasional
#kisahpahlawanku

Bhineka tunggal Ika

Keteladanan Olahraga

Kompas, 30 Aug 2018

YUDI LATIF
Dosen Universitas Negeri Yogyakarta

Asian Games memberi pelajaran politik kewargaan yang amat berharga. Bukan hanya soal upacara pembukaannya yang spektakuler, yang meyakinkan kita akan potensi Indonesia sebagai adidaya budaya dunia. Bukan juga soal perolehan medali yang membuat kita tidak kehilangan muka sebagai bangsa besar. Bukan pula sebatas cucuran keringat dan ketabahan menahan sakit yang mencerminkan kesadaran bela negara. Yang lebih penting adalah soal semangat inklusif kewargaan yang membuat segala perbedaan melebur dalam perjuangan bersama demi kehormatan dan prestasi bangsa.

Perhatikan berbagai cabang olahraga beregu, seperti bola voli putri. Di sana, atlet-atlet berkerudung bahu-membahu bersama rekannya yang berkalung salib tanpa hambatan psikologis. Semua identitas setara, saling berangkulan, meneriakkan pekik yang sama, serempak jatuh-bangun menahan gempuran dan melancarkan serangan. Menyaksikan pemandangan seperti itu bisa membuat kita berderai air mata. Terbukti juga bahwa medali yang kita peroleh disumbangkan oleh atlet dengan latar identitas yang beragam. Semangat inklusif kewargaan dalam kesetaraan bisa meleburkan perbedaan dalam harmoni persatuan yang membuat bangsa ini beprestasi maju.

Keteladanan olahraga memberi inspirasi bagaimana menguatkan kohesi sosial di tengah polarisasi dan fragmentasi kebangsaan. Bahwa transformasi soal menuju integrasi nasional memerlukan penguatan di ”lima kesadaran”: kesadaran nasional, kesadaran bernegara, kesadaran berpemerintahan, kesadaran sosial, dan kesadaran bela negara.

Perwujudan kelima kesadaran itu tecermin dalam semangat persatuan dan kemandirian bangsa, semangat kewargaan yang inklusif, semangat menyelaraskan hak dan kepentingan perseorangan dengan kewajiban dan kepentingan bersama, semangat gotong royong yang dinamis; dan semangat patriotisme dengan rela berkorban.

Jalan ke arah itu memerlukan prasyarat kesetaraan kewargaan dengan melakukan pengikisan atas struktur sosial feodalistik dan kolonialistik-kapitalistik yang diskriminatif, digantikan struktur dan kultur masyarakat Pancasilais yang egaliter, dengan semangat persatuan nasional yang mengatasi kepentingan perseorangan dan golongan.

Untuk itu, perlu ada perombakan pada basis ekonomi dan supersturktur mental-kultural. Pada ranah ekonomi, kesetaraan bisa dibangun dengan membudayakan usaha tolong-menolong. Semua bentuk badan usaha (BUMN, kooperasi, dan swasta) harus mencerminkan sifat ”tolong-menolong” (kekeluargaan). Ke dalam, setiap bentuk badan usaha harus mengembangkan hubungan industrial Pancasila yang menguntungkan bagi semua pemangku kepentingan. Keluar, di antara ketiga bentuk badan usaha itu harus ada pembagian peran dan interdependensi dalam penguasaan dan pengusahaan sektor-sektor ekonomi dari hulu ke hilir. Harus dicegah terjadinya penguasaan sektor-sektor ekonomi dari hulu ke hilir di tangan orang seorang secara monopolistik dan oligopolistik.

Usaha memperkuat kesetaraan pada struktur perekonomian itu memerlukan keleluasaan negara untuk menentukan nasibnya sendiri. Negara-bangsa harus mengembangkan sikap kejiwaan dan kesanggupan untuk (sebisa mungkin) mencukupi diri sendiri dengan kerelaan membeli produk dalam negeri. Bangsa Indonesia hendaknya tidak mengembangkan perilaku ekonomi boros, ”besar pasak daripada tiang”, yang bisa menjadi pintu masuk bagi dikte-dikte kekuatan asing dalam perencanaan dan kebijakan perekonomian nasional.

Transformasi menuju masyarakat Pancasila juga memerlukan perubahan mental-kultural. Perubahan itu diarahkan untuk mengikis mentalitas feodalistik-kolonialistik-hedonistik dan mental budak, dengan membuang nilai lama yang buruk, mempertahankan yang baik, dan mengupayakan nilai baru yang lebih baik, yang lebih sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.

Usaha kebudayaan diarahkan terutama untuk membangun mentalitas kesetaraan, kemandirian, gotong royong, amanah, dan pelayanan dalam rangka mempertinggi mutu kemanusiaan, keadaban, dan persatuan. Imperialisme kebudayaan harus dicegah dengan melindungi dan menjamin berkembangnya kebudayaan nasional, melalui pemaduan kecemerlangan lokal dan visi perkembangan global. Perlu diperkuat wawasan Nusantara, dengan meluaskan horizon kebudayaan dari bias perspektif daratan menuju perhatian yang lebih kuat terhadap visi kemaritiman. Pembangunan harus dijangkarkan pada basis modal kultural dengan menggalakkan budaya baca dan meneliti serta kreativitas inovasi masyarakat.

Hanya dengan mengembangkan struktur dan kultur kesetaraan, kemajemukan kebangsaan punya mekanisme bawaan ke arah inklusi sosial. Seperti dalam olahraga, dengan kekuatan inklusi sosial, perbedaan tak jadi persengketaan, malahan saling melengkapi dan menguatkan menuju prestasi dan kemajuan bangsa.