Rabu, 24 November 2021

IDI dan Kolegium

Dokter memiliki kewenangan medis (medical authority) bertindak atas tubuh manusia. Namun tidak bertindak sembarang karena dokter memiliki kompetensi kedokteran (medical competency), dengan disiplin ilmu (body of knowledge), terikat etik kedokteran dan sumpah dokter. Dokter berwenang memberikan perintah (standing order) kepada tenaga kesehatan lain, karenannya dokter disebut captain of the team dalam penelenggaran layanan kesehatan.

Demi menjaga kemuliaan profesi, dokter terikat 3 norma sekaligus: norma etik, norma disiplin dan norma hukum (vide pendapat MK dalam Putusan Nomor 14/PUU-XII/2014, angka 3.14). Untuk siapa? Semua dokter, baik dokter umum (general practitioners/GP) maupun dokter spesialis/sub spesialis. Sebab UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (“UU Prakdok”) menormakan dokter adalah dokter umum dan dokter spesialis. Yang berhimpun dalam “satu tubuh” Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Karenanya perhimpunan dokter spesialis berada dalam IDI. Seluruh perhimpunan dokter spesialis dalam pengembangan pelayanan keprofesian dikoordinir majelis yakni MPPK (Mejelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian) yang berada dalam tubuh IDI. Dalam tubuh IDI itulah, MPPK termasuk struktur kepemimpinan tingkat pusat. Bukan bawahan Pengurus Besar (PB) IDI.

Apa posisi profesional IDI? Merujuk Pasal 1 angka 12 UU Prakdok, menormakan Organisasi Profesi adalah IDI. Pembuat Undang-undang tegas menyebutkan IDI adalah Organisasi Profesi, bahkan dengan memberikan sejumlah kewenangan dan wewenang menjalankannya. Jadi, maksud asli (original intens) pembuat Undang-undang organisasi profesi dokter hanya IDI.

Norma itu bersesuaian (conformity) dengan Mukaddimah Anggara Dasar (AD) IDI dan Pasal 6 AD IDI, bahwa IDI adalah Organisasi Profesi. Jelas bisa dibedakan dnegn nalar bahwa IDI bukan organisasi kemasyarakatan (Ormas).

Merujuk Pasal 14 ayat (1) AD IDI, struktur kepemimpinan IDI tingkat pusat terdiri atas PB IDI, MKKI (Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia), MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran), MPPK (Mejelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian). IDI mengakui pemisahan/pembagian kepemimpinan antara PB IDI, MKKI, MKEK, MPPK. Mengikuti ajaran “trias politica” dalam hukum tata negara, kiranya bisa disebut sementara dengan “quarta politica” untuk ontologi struktur kepemimpinan/kekuasaan IDI.

Dari analisis struktur kepemimpinan, PB IDI bukan atasan MKKI, MKEK dan MPPK. Demikian pula MKKI, MKEK dan MPPK bukan subordinat PB IDI, namun memiliki wewenang dan bertanggungjawab pada bidang tugas masing-masing. Tidak bisa intervensi. Struktur sedemikian adalah aspirasi dan pilihan rasional yang berasal dari bawah/praksis lapangan, memiliki justifikasi sosio-profesional, karena dibahas/dikaji, diuji/dievaluasi dan disahkan melalui Muktamar IDI setiap 3 tahun.

Dengan posisi dan kewenangan MKKI mengordinasikan kolegium-kolegium kedokteran membuktikan profesi dokter dan praktik kedokteran tidak bisa dipisahkan dengan pendidikan profesi kedokteran itu sendiri. Sudah diakui dan standar universal jika profesi terikat dengan pendidikan profesi. Bahkan kode etik dan pengawasan profesi.

Mustahil kompetensi profesi dipisahkan dari atau tanpa pendidikan profesi. Kolegium-kolegium kedokteran inheren atau bagian tidak terpisahkan dari profesi dokter. Tepat, MKKI menjadi inti dari Organisasi Profesi cq IDI.

Nihil alasan dan kehilangan obyek jika hendak meminta Organisasi Profesi cq IDI dimaknai juga kolegium kedokteran ataupun MKKI. Karena, ontologi struktur kepemimpinan IDI memang persis demikian, sudah inheren dan sudah malah berjalan prima. Seperti tamsil menyatunya putih dan hitam mata. Seperti kepala pada tubuh manusia.

Minggu, 21 November 2021

Kisah BianQue

Kisah Tabib Bian Que dan Penyakit Kaisar China

Tersebutlah di era 400 s.d 300 SM di daratan Cina, pada masa pemerintahan Kaisar Chia Huangkung, hiduplah seorang tabib yang sangat ahli bahkan sampai disebut-sebut sangat sakti. Nama tabib tersebut adalah Tabib Bian Que.

Pada suatu hari ketika tiba kembali ke ibukota kerajaan, Tabib Bian Que berkenan menghadap sang Kaisar untuk mengabarkan kondisi kesehatan masyarakat di kerajaan tsb. Setelah usai menyampaikan berita, Tabib Bian Que kemudian berkata :

"Duhai Kaisar yang agung, aku melihat ada penyakit yang menempel pada kulitmu. Perkenankanlah aku mengobatinya."

Kaisar demi mendengar perkataan tsb tentu saja terkejut, namun gengsinya mengalahkan kebijaksanaannya, meskipun yang memberi saran adalah seorang tabib yang sudah tersohor kepandaiannya. Sang Kaisar menjawab :


"Tidak, aku tidak sakit, dan aku tidak berpenyakit. Jika telah usai urusanmu, silakan pergi!"

Setelah mendengar jawaban sang Kaisar tsb, Tabib Bian Que segera berpamitan meninggalkan sang Kaisar, untuk melanjutkan kembali perjalanannya. Sepeninggal sang tabib, sang Kaisar berkata kepada para menterinya :

"Ya namanya saja tabib, tentu saja cuma berniat jualan obatnya. Orang tidak sakit pun diaku-aku sakit."

Hari pun berganti hari, minggu kemudian berganti minggu. Telah 2 minggu semenjak kedatangannya yang lalu, Tabib Bian Que menghadap Kaisar kembali, dan menyampaikan :

"Wahai Kaisarku yang agung, aku melihat penyakit itu sudah memasuki dagingmu. Perkenankanlah aku menyembuhkannya."

Kaisar seketika itu marah, dan berkata lantang :

"Hai Tabib, aku ini sehat-sehat saja, dan tidak berpenyakit. Sudah, pergi saja kau dari sini!"

Sekali lagi sang tabib kembali dari istana kaisar tanpa hasil sama sekali. Dan hal tsb berulang beberapa minggu kemudian saat sang tabib kembali menemui kaisar.

"Wahai Kaisarku yang agung, aku melihat penyakitmu telah memasuki ususmu. Ijinkanlah aku untuk segera menanganinya, sebelum semuanya terlambat."

Sebenarnya kala itu sang kaisar memang telah merasakan rasa sakit yang cukup payah dalam tubuhnya. Namun masih saja rasa gengsinya karena telah dua kali berhasil mengusir sang tabib, mengalahkan kejernihan berpikirnya. Dan sekali lagi sang kaisar menolak permintaan sang tabib, bahkan malah mengusirnya lagi.

Tak berselang lama, sang Kaisar betul-betul jatuh sakit yang amat parah sehingga tak dapat beranjak dari pembaringannya. Barulah kejernihan berpikirnya sebagai seorang raja membawanya utk menekan rasa gengsinya. Ia pun bertitah kepada perdana menterinya utk memerintahkan para pengawal menjemput Tabib Bian Que untuk mengobati sakitnya.

Namun apa yang terjadi kemudian ketika sang Tabib telah datang ke kamar peristirahatan sang Kaisar? Justru demi melihat kondisi sang kaisar, Tabib Bian Que malah langsung balik kanan hingga nyaris berlari pergi. Para pengawal dengan sigap menghalangi langkah sang Tabib. Kemudian perdana menteri memanggil kembali sang tabib untuk memohon penjelasan.

"Kaisarku yang agung dan tuan perdana menteri, maafkanlah aku. Kedatanganku kini sudah terlambat sama sekali. Penyakit kaisar telah memasuki tulang. Jika kemarin masih berada di kulit, aku masih bisa mengobati dengan memberikan ramuan untuk mandi kaisar. Saat penyakit itu masih berada di dalam daging, jarum akupunturku masih mampu menyembuhkannya, dan ketika penyakit itu memasuki usus, aku masih memiliki jamu-jamu untuk menghilangkan penyakit itu. Sekarang aku sudah tidak berdaya mengobati Kaisarku yang agung. Aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Hanyalah sang raja neraka yang dapat menyembuhkannya (istilah lain tinggal menunggu ajal). Perkenankan saya mohon diri."

Benarlah apa yg disampaikan sang Tabib, beberapa hari kemudian sang Kaisar pun mangkat karena sakitnya.

Sang putra mahkota setelah pelantikannya sebagai Kaisar pengganti ternyata cukup bijaksana. Ia menyampaikan kepada para menteri dan masyarakatnya, "Sedini mungkin suatu ketidak baikan muncul, haruslah bersegera kita memperbaikinya. Jika telah berlangsung lama, segala sesuatunya akan terlambat dan sia-sia. Rasa malas akan membawa kehancuran. Dan seorang raja dan para pemimpin haruslah terbuka akan pendapat atau masukan dari masyarakatnya, terlebih dari para cerdik pandai dan para ahlinya."


Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kisah Tabib Bian Que dan Penyakit Kaisar China", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/mustaqim_muslimin_abdul_ghani/54f71288a33311ad0c8b48c6/kisah-tabib-bian-que-dan-penyakit-kaisar-china?page=all#sectionall

Jumat, 19 November 2021

Asal uni Trisakti

*Universitas Res Publica Sumbangsih Siauw Giok Tjhan Di Bidang Pendidikan*

Masalah kewarganegaraan menjadi masalah yang rumit bagi golongan Tionghoa, karena Indonesia menganut asas ius soli yang menentukan kewarganegaraan sesorang berdasarkan tempat kelahiran, sebaliknya pemerintah Tiongkok dengan dekrit yang dikeluarkan kaisar pada zaman dinasti Ming menganut asas Ius sanguinus, yangmenyatakan setiap orang Tionghoa, di manapun ia berada dan dilahirkan tetap menjadi warga Tiongkok.

Untuk mengatasi masalah ini pada 1946, telah dikeluarkan undang-undang kewarganegaraan yang berdasarkan stelsel pasif, bagi yang ingin menolak kewarganegaraan Indonesia diberi waktu sampai 1947. Apabila diam saja otomatis menjadi warga negara Indonesia. Kemudian Perjanjian Meja Bundar (KMB) juga mendukung dan mengesahkan UU Kewarganegaraan berdasarkan stelsel pasif dan memperpanjang waktu memilih sampai 27 Desember 1951. Ternyata lebih dari 300.000 orang Tionghoa kebanyakan dari golongan totok yang menolak kewarganegaraan Indonesia dan memilih menjadi orang asing. Dengan demikian sisanya menjadi warga negara Indonesia, demikian juga keturunannya yang dilahirkan di Indonesia.

Namun pada 1953, menteri luar negeri pada kabinet Ali Sastroamidjojo mengajukan RUU Kewarganegaraan yang ingin membatalkan kedua undang-undang kewarganegaraan sebelumnya dan menentukan syarat antara lain, hanya orang keturunan asing yang telah menetap di Indonesia selama tiga generasi yang berhak mengajukan permohonan menjadi warga negara Indonesia dan harus dapat membuktikannya. Sudah tentu hal ini sangat sulit untuk dipenuhi dan menimbulkan keresahan di kalangan etnis Tionghoa. RUU ini mendapat protes dan perlawanan yang keras dari kalangan etnis Tionghoa, terutama dari tokoh politik Siauw Giok Tjhan. `

Untuk mengantisipasi masalah ini pada akhir 1953 atas inisiatif tokoh-tokoh Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI) diadakan pertemuan untuk membentuk panitia yang akan membahas RUU tersebut. Hadir pengacara-pengacara dan tokoh-tokoh Tionghoa antara lain : Khoe Woen Sioe, Gouw Giok Siong,Yap Thiam Hien,Auwjong Peng Koen, Oei Tjoe Tat, Siauw Giok Tjhan, Tan Po Goan, Liem Koen Seng dllnya. Akhirnya Siauw Giok Tjhan terpilih sebagai ketua.

Pada 13 Maret 1954, bertempat di gedung Sin Ming Hui (Candra Naya) berhasil dibentuk sebuah organisasi yang dinamakan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia disingkat BAPERKI dengan ketuanya Siauw Giok Tjhan. Organisasi baru ini dalam waktu singkat mendapat sambutan luas dan menjadi terkenal sebagai wadah golongan etnis Tionghoa dalam membela hak-haknya, terutama yang menyangkut masalah kewarganegaraan.

Pada 6 November 1957, Menteri Pertahanan kabinet Djuanda mengeluarkan larangan bagi warga negara Indonesia belajar di sekolah-sekolah asing. Peraturan ini terang-terangan ditujukan kepada golongan etnis Tionghoa yang anak-anaknya banyak bersekolah di sekolah-sekolah Tionghoa. Akibatnya puluhan ribu murid sekolah tersebut menjadi terkatung-katung karena tidak cukup sekolah yang dapat menampungnya.

Atas inisiatif Siauw Giok Tjhan dengan Baperkinya pada awal 1958 didirikan Yayasan Pendidikan dan Pengajaran yang dipimpin sendiri olehnya dan mulai dibuka sekolah-sekolah untuk menampung anak-anak tersebut. Dalam waktu singkat berdiri ratusan sekolah-sekolah yang dikelola Baperki di berbagai kota di Indonesia. Kemudian timbul masalah baru, kemana harus disalurkan murid-murid yang telah menyelesaikan SLA nya ? Tempat-tempat di universitas negeri sangat terbatas dan juga dijalankan pembatasan atau sistim jatah bagi etnis Tionghoa yang ingin melanjutkan studinya di universitas-universitas tersebut.

Pada 1958 atas desakan pimpinan Baperki, akhirnya Siauw Giok Tjhan memutuskan untuk mendirikan Universitas Baperki. Pada 1958 dibuka Akademi Fisika dan Matematika yang bertujuan mendidik guru-guru sekolah menengah. Pada September 1959 dibuka fakultas Kedokteran Gigi disusul pada November rahun yang sama Fakultas Tehnik jurusan sipil,mesin dan elektro. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya didirikan Fakultas Kedoktertan,Hukum,Ekonomi dan Sastra. Rektor pertamanya Dr. Ferdinand Lumban Tobing dan para dekannya antara lain Ir.Pudjono Hardjoprakoso (FT), Prof.DR. Ernst Utrecht (FE), Prof. Lie Oen Hock SH. (FH), Dr. Be Wie Tjoen (FKG), Prof.DR.Tjan Tjoe Siem (FS) dllnya. Pada 1963, Universitas Baperki berganti nama menjadi Universitas Res Publica disingkat URECA yang berarti untuk kepentingan public atau umum dan diambil dari pidato Bung Karno di muka sidang Konstituante 1959 yang berjudul “Res Publica, sekali lagi Res Publica”. Rektor baru Ny. DR.Utami Suryadarma diangkat menggantikan Dr.Lumban Tobing yang meninggal pada 1962.

Dalam waktu singkat jumlah mahasiswanya bertambah dengan cepat, di Jakarta saja mencapai hampir 6000 ribu orang pada 1965 yang datang dari seluruh Indonesia. Banyak murid-murid lulusan sekolah Tionghoa yang tidak dapat melanjutkan studinya ke universitas-universitas negeri atau ke luar negeri, ditampung di Ureca. Mereka disyaratkan untuk mengambil ijazah SMA secara extrane pada tahun berikutnya.

Pada 1962, Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Baperki mendirikan Universitas di Surabaya dengan fakultas-fakultas Tehnik, Hukum dan Farmasi dipimpin oleh Prof.Gondowardojo, rektor Universitas Airlangga.Disusul fakultas Kedokteran di Semarang dan fakultas lainnya di Medan.

Sistim yang diterapkan di Universitas Res Publica adalah kombinasi teori dan praktek. Pelajaran ideologi negara menjadi kurikulum wajib tingkat persiapan di setiap fakultas dan Siauw Giok Tjhan sendiri menjadi dosennya. Kepada setiap mahasiswa ditanamkan rasa kebangsaan yang tinggi, demikian juga rasa kecintaan dan memiliki (sense of belonging) universitasnya. Mungkin hanya Ureca yang mengharuskan setiap mahasiswanya, terutama dari fakultas Tehnik untuk bekerja bakti membangun gedung universitas dan asramanya sendiri.

Karena ketika itu sedang terjadi kesulitan pangan,maka pihak pimpinan universitas mengajak para mahasiswanya untuk menanam jagung di halaman universitasnya yang luas. Pada masa-masa tertentu mahasiswa-mahasiswi Ureca aktif melakukan kerja bakti memperbaiki jalan-jalan yang rusak di ibu kota. Ketika itu menjadi pemandangan yang biasa apabila kita melihat gadis-gadis Tionghoa mahasiswi Ureca mengendarai mesin giling memperbaiki jalan-jalan di Jakarta yang rusak akibat hujan dan banjir.

Para mahasiswa diberi kebebasan untuk aktif berorganisasi baik intra maupun extra universiter sesuai dengan pilihan politiknya. Dewan dan Senat mahasiswa menjadi mitra atau partner pimpinan universitas dalam mengendalikan dan mengembangkan kehidupan kampus. Mahasiswa Ureca memelopori penghapusan sistim perpeloncoan yang sudah usang dan tidak manusiawi, peninggalan kolonial Belanda dan mengisi acara-acara Mapram dengan acara-acara yang lebih bermanfaat seperti ceramah-ceramah, kerja bakti, olah raga dsbnya.

Dewan Mahasiwa juga aktif ambil bagian dalam kegiatan Resimen Mahajaya, olah raga dan di bidang kesenian. Pada awal 1965 berhasil dibentuk team kesenian yang berhasil mementaskan drama dan kesenian yang kemudian melakukan tour ke Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan sukses.

Pada 1964, Departemen Perguruan Tinggi dan Imu Pendidikan (PTIP) menyamakan ijazah Sarjana Muda Tehnik, Kedokteran Gigi,Ekonomi dan Hukum Ureca dengan lulusan universitas negeri. Pada 1965, lulusan fakultas Tehnik dan Kedokteran Gigi Ureca diakui sebagai sarjana penuh.

Namun Ureca akhirnya menjadi korban kerusuhan dan dibakar pada 15 Oktober 1965, sebagai ekses bencana G30S. Dengan tuduhan menjadi antek PKI dan Peking,Ureca telah menjadi korban kesewenang-wenangan tanpa berdaya dan mengetahui apa kesalahannya. Mahasiswa Ureca di bawah pimpinan Go Gien Tjwan dengan heroik dan gagah berani mempertahankan kampusnya ketika diserbu, dijarah dan dibakar gerombolan liar yang dibantu militer. Dengan penuh linangan air mata mereka menyaksikan kampus yang dicintainya, yang bersama-sama dibangun dan dibimbing Siauw Giok Tjhan, seorang pemimpin Tionghoa yang arif bijaksana menjadi tumpukan puing yang sangat mengenaskan.

Ureca akhirnya diambil alih oleh Yayasan Trisakti di bawah pimpinan orang-orang LPKB yang dibantu jenderal Nasution dan merubah namanya menjadi Universitas Trisakti yang tetap eksis sampai sekarang. Sampai hari ini masih menjadi tanda tanya besar, seperti juga sekolah-sekolah dasar dan menengah Baperki yang berjumlah ratusan di seluruh Indonesia, apa yang menjadi dasar hukum pengambil alihan tersebut, padahal negara kita katanya negara hukum. Banyak sekolah-sekolah Baperki yang telah disulap menjadi ruko-ruko dan perkantoran tanpa jelas status hukumnya.

[https://www.respublika.id/2018/07/07/kampus-merah-universitas-res-publica-sumbangsih-siauw-giok-tjhan-di-bidang-pendidikan/]