Kamis, 27 Agustus 2020

Matakin

SEJARAH MATAKIN 

MATAKIN adalah singkatan dari Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Yinni Kongjiao Zonghui). Lembaga MATAKIN adalah lembaga Umat Khonghucu satu-satunya yang diakui Pemerintah Republik Indonesia. Mayoritas pemeluk agama Khonghucu berasal dari keturunan Tionghoa, namun agama Khonghucu tidak eksklusif dan bukan hanya diperuntukkan untuk kalangan masyarakat Tionghoa saja. Agama Khonghucu tersebar di seluruh dunia dan dipeluk oleh mereka yang menyakininya apapun latar belakang etnis, ras dan dari penduduk negara manapun di muka bumi ini.

Kedatangan orang-orang dari Tiongkok ke Nusantara berabad-abad yang lalu, telah memperkaya agama dan budaya di Indonesia hingga saat ini. Terdapat banyak Klenteng tua sebagai rumah ibadat Khonghucu di seluruh Indonesia diantaranya di pulau Jawa terdapat di Ancol Jakarta, Semarang, Rembang, Lasem, Tuban dan sebagainya. Di luar pulau Jawa terdapat banyak Klenteng tua ratusan tahun diantaranya di Makasar dan Manado. 

Pada tahun 1729 di Batavia (Jakarta) telah berdiri Shu Yuan, semacam ‘pesantren’ Khonghucu, yang memberikan pendidikan tentang Ru Jiao (Agama Khonghucu) yang bernama Ming Ceng Shu Yuan (artinya Taman Kitab / akademi pendidikan menggemilangkan iman). Pada tanggal 17 Maret 1900, di Batavia (Jakarta) berdiri sebuah lembaga yang bernama Zhonghua Hui Guan (Tionghoa Hwee Kwan) yang dipelopori tokoh-tokoh Khonghucu, dengan Presiden THHK pertama bernama Pan Jing He (Phoa Keng Hek) dan sekretarisnya Chen Qin Shan (Tan Kim San). Tujuan berdirinya Tionghoa Hwee Kwan adalah ingin memurnikan kehidupan keagamaan Khonghucu dan menghapus sinkretisme serta membangun lembaga pendidikan bagi anak-anak keturunan Tionghoa melawan diskriminasi pemerintah kolonial Belanda.

Pada tahun 1918 berdiri Lembaga keagamaan Khonghucu yang bernama Khong Khauw Hwee (Kongjiao Hui) di kota Solo. Kemudian menyusul beberapa tempat lainnya berdiri Khong Khauw Hwee (Kongjiao Hui) diantaranya di Bandung, Cirebon, Surabaya, Makasar, Malang, Semarang dan lain-lain. Pada tahun 1923 diselenggarakan Kongres pertama kalinya di Jokyakarta dan terbentuklah Khong Khauw Tjong Hwee (Kongjiao Zonghui) Majelis Pusat Agama Khonghucu dengan ketua pertama Fang Guo Yuan (Poey Kok Gwan). Pada tanggal 25 September 1924 di Bandung diselenggarakan Kongres lanjutan Khong Khauw Tjong Hwee (Kongjiao Zonghui / Majelis Pusat Agama Khonghucu) dengan tujuan merumuskan Tata Agama Khonghucu agar seragam di seluruh Nusantara. Kongres berikutnya diselenggarakan di kota Solo pada tahun 1938 dan di kota Surabaya pada tahun 1940, yang merumuskan banyak keputusan diantaranya di sekolah khusus Khong Khauw Hwee diberi pelajaran agama Khonghucu demikian pula diatur kembali tata upacara pernikahan dan kematian serta perayaan tahun baru Imlek (Yinli). 

Pada tahun 1942, masuknya tentara Jepang ke Nusantara dan pecahnya perang dunia kedua maka otomatis aktivitas kelembagaan agama Khonghucu Khong Khauw Hwee tidak bisa berjalan alias terhenti dan dibekukan. Setelah Indonesia Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, perlahan aktivitas kelembagaan Khonghucu mulai berjalan namun belum maksimal karena situasi dan kondisi perang kemerdekaan saat itu. 

Satu tahun setelah Indonesia Merdeka, tepatnya pada tahun 1946, Pemerintah Indonesia melalui Presiden Soekarno menerbitkan Penetapan Pemerintah tentang hari raya Nomor 02/OEM-1946. Khusus bagi kalangan Tionghoa yang mayoritas pemeluk agama Khonghucu ditetapkan 4 (empat) hari raya yakni Perayaan tahun baru Imlek, Hari Lahir Nabi Khongcu (Kongzi), Cheng Beng (Qing Ming) dan Hari Wafat Nabi Khongcu (Kongzi). 

Pada tahun 1948-1949, Khong Khauw Hwee / Majelis Agama Khonghucu diberbagai daerah mulai aktif kembali membina kegiatan peribadahan dan lembaganya. Tanggal 11-12 Desember 1954, di Kota Solo diadakan Konferensi antar tokoh-tokoh agama Khonghucu yang membahas ditegakkannya kembali Majelis Pusat Agama Khonghucu / Khong Khauw Tjong Hwee (Kongjiao Zonghui). Pada tanggal 15-16 April 1955 kembali diadakan Konferensi lembaga tertinggi agama Khonghucu di Indonesia dan lembaga ini kemudian berganti nama menjadi Perserikatan K’ung Chiao Hui Indonesia disingkat PKCHI dengan ketua dr. Kwik Tjie Tiok dan sekretaris Oei Kok Dhan. Keputusan Kongres tanggal 16 April 1955 menjadi cikal bakal ditetapkannya Hari Ulang Tahun MATAKIN. 

Setelah beberapa kali adakan Kongres, akhirnya PKCHI berganti nama menjadi Lembaga Agama Sang Khongcu Indonesia disingkat LASKI pada Kongres IV di Solo tahun 1961. Pada tahun 1963 ketika diadakan Konferensi LASKI di Solo, salah satu keputusan adalah merubah nama LASKI menjadi GAPAKSI (Gabungan Perkumpulan Agama Khonghucu se Indonesia). Saat diadakan Kongres V GAPAKSI di Tasikmalaya pada tanggal 5-6 Desember 1964 nama lembaga ini kemudian berubah menjadi Perhimpunan Agama Khonghucu se-Indonesia dengan tetap disingkat GAPAKSI. 

Pada tahun 1965, Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden No. 1/ Pn.Ps/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa agama-agama yang dipeluk penduduk Indonesia berdasarkan sejarahnya ada 6 (enam) yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu (Confucius). Pada tahun 1969, berdasarkan UU No. 5 tahun 1969, Penetapan Presiden ini kemudian menjadi Undang-Undang dan disebut UU No. 1 / PnPs/1965. 

Pada tanggal 23-27 Agustus 1967 saat diselenggarakan Kongres VI GAPAKSI, salah satu keputusan Kongres adalah nama lembaga ini berubah menjadi MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) Yinni Kongjiao Zonghui.                

Saat rezim Orde Baru berkuasa, umat Khonghucu mengalami diskriminasi panjang dimulai dari Terbitnya Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 yang ditandatangani Presiden Soeharto. Terbitnya berbagai aturan hukum sangat memojokkan umat Khonghucu dan lembaga MATAKIN, terlebih Keputusan Menteri yang menyebut Indonesia hanya mengakui lima agama tanpa Khonghucu, dan mengalahkan Undang-Undang, memberikan bukti noda hitam sejarah yakni betapa hukum dikalahkan oleh kebijakan politik. 

Eksistensi MATAKIN sebagai lembaga keagamaan tetap berjalan aktif walau banyak aturan hukum diskrimintif dan umat Khonghucu Indonesia dicabut hak-hak sipilnya. Berkurangnya jumlah umat Khonghucu saat rezim orde baru sangatlah merugikan, yang bertahan hanya sedikit tapi tetap tekun beribadah seraya berjuang tiada henti. Tidak bisa dicantumkan agama Khonghucu di Kartu Tanda Penduduk, pernikahan pasangan Khonghucu tidak dicatat negara melalui Catatan Sipil,  murid-murid dan Mahasiswa Khonghucu tidak bisa mendapatkan pendidikan agama Khonghucu, tidak dilayani Departemen / Kementrian Agama serta banyaknya aturan diskriminatif membuat hilangnya satu generasi umat Khonghucu. Menjadi pemimpin MATAKIN dimasa sulit tersebut membutuhkan keberanian, keteguhan iman bahkan siap dipenjara. Saya sendiri mengalaminya, saat remaja duduk dibangku SMA, sebagai pimpinan pemuda Khonghucu Manado merencanakan pameran foto dalam rangka peringatan Hari Lahir Nabi Khongcu, namun saya harus berhadapan dengan hukum ketika diciduk pihak intelejen dan diinterogasi. Saya kemudian dilepaskan setelah diperiksa selama satu hari dan beradu argumentasi soal adanya larangan terhadap agama Khonghucu. 

Pada tahun 2000, saat KH. Abdurrahman Wahid menjadi Presiden, atas usaha pimpinan MATAKIN maka terbitlah Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 yang mencabut Inpres No. 14 tahun 1967. Hak-hak sipil umat Khonghucu mulai dibuka kembali atas jasa seorang Gus Dur, MATAKIN mulai melaksanakan Perayaan Tahun baru Imlek Nasional (Imleknas) dan dihadiri Presiden Gus Dur hingga Kepala Negara berikutnya. Presiden Megawati Soekrno Putri saat menghadiri Perayaan Tahun Baru Imlek Nasional yang diselenggarakan MATAKIN kemudian dalam sambutannya mengatakan memberikan kado bagi umat Khonghucu dengan menerbitkan Keputusan Presiden yang menetapkan perayaan tahun baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional. 

Puncak dipulihkannya hak sipil umat Khonghucu terjadi saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan banyak aturan hukum dan regulasi di tahun 2006 yang membuat setiap umat Khonghucu bisa mencantumkan agama Khonghucu di KTP, pernikahan Khonghucu tidak dianggap kumpul kebo dan dicatat Negara melalui Catatan Sipil, Mahasiswa dan murid-murid yang beragama Khonghucu mulai mendapatkan pendidikan agama Khonghucu, Kementrian agama mulai melayani umat Khonghucu, tokoh-tokoh agama Khonghucu di seluruh Indonesia aktif bersama para tokoh agama lainnya dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), tersedianya guru-guru dan dosen agama Khonghucu, dan masih banyak lagi kebijakan yang membuat umat Khonghucu setara dengan agama lain dan eksistensi MATAKIN semakin diakui pemerintah sebagaimana amanat Konstitusi dan Perundang-undangan. 

Di Manado, Klenteng pertama sekaligus tertua yang dibangun di masa kolonial Belanda adalah Klenteng Ban Hing Kiong. Berdiri sejak ratusan tahun lalu dan tercatat mengalami beberapa kali renovasi hingga renovasi tahun 1819 disebut sebagai tahun berdirinya Klenteng tersebut namun sesungguhnya jauh sebelumnya ratusan tahun Klenteng ini sudah berdiri. Beberapa penulis bangsa Eropa menceritakan kisah perjalanannya di tanah Minahasa, diantaranya N. Graafland (Belanda) pada tahun 1850, termasuk perjalanannya di kampung Cina Manado yang mayoritas penduduknya beragama Khonghucu. Demikian pula, Sidney John Hickson, ahli Zoologi dari Inggris dalam buku lapoan perjalanannya di tanah Minahasa yang terbit tahun 1889, salah satu kisah perjalanannya di Kampung Cina Manado pada tahun 1885 dimana mayoritas penduduk di kampung Cina Manado beragama Khonghucu dan maraknya perayaan tahun baru Imlek dan capgomeh di Kampung Cina Manado. Penulis Belanda H. Van Kol menganalisa kehidupan orang-orang Cina di Tanah Minahasa dalam bukunya “Uit once Kolonien” (Leiden, 1903). 

Pada tahun 1902, di Manado berdiri badan hukum yang bernafaskan Khonghucu dan bernama Kong Djoe Sin Tong dimana badan hukum perkumpulan ini mengelola aset masyarakat Tionghoa salah satunya tanah pekuburan Tionghoa di kampung Cina Manado yang pertama di gunung wenang sejak tahun 1825 dan dipindahkan ke daerah Teling. Lembaga MATAKIN secara resmi eksistensinya di Manado Sulawesi Utara baru mulai berdiri tahun 1971 saat utusan MATAKIN berkunjung ke Manado, seluruh Klenteng di Manado Sulawesi Utara bernaung dibawah MATAKIN namun sejak diskriminasi orde baru, Klenteng-Klenteng ini banyak yang bernaung dibawah TITD (Tridharma) yang lebih berafiliasi ke lembaga agama Buddha (Walubi). Eksistensi MATAKIN ditandai dengan berdirinya Majelis agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) Manado dan Amurang sejak tahun 1972. Namun, jejak umat Khonghucu di Manado khususnya di Kampung Cina jauh ratusan tahun telah ada dan eksis sebagaimana catatan sejarah.            

Pada tanggal 20-22 Desember 2018, diadakan Munas MATAKIN ke XVIII di Jakarta. Saya yang hadir dalam Munas sebagai Dewan Pengurus MATAKIN Ketua bidang hukum kemudian terpilih sebagai ketua Komisi A yang membahas Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga MATAKIN serta Tatacara pemilihan ketua Umum MATAKIN. Pada saat itulah saya memberikan usul saran mengenai eksistensi kelembagaan agama Khonghucu di Indonesia dimana selama ini penghitungan sejarah MATAKIN berasal dari Kongres di Solo pada tanggal 16 April 1955. Usia MATAKIN selama ini mengacu sejak tahun 1955. Menurut saya dalam argumentasi saat Munas MATAKIN di Jakarta, 20-22 Desember 2018, ada kesalahkaprahan sejarah, karena sesungguhnya penghitungan tahun kelahiran MATAKIN harus dihitung sejak Kongres Khong Khauw Tjong Hwee (Kongjiao Zonghui) di Jokyakarta tahun 1923. Karena, kalau dihitung sejak Kongres tahun 1955, maka ada ‘kekosongan” sejarah dengan mengabaikan Kongres Majelis agama Khonghucu di Nusantara / Hindia Belanda sebelum Indonesia merdeka di tahun 1945. Selain itu, ada ‘kekosongan’ lainnya yakni tahun 1946, Presiden Soekarno menerbitkan Penetapan Pemerintah tentang hari raya termasuk Khonghucu, dan menjadi janggal jika MATAKIN baru ada tahun 1955. Saya telah melakukan penelitian selama bertahun-tahun dan berdiskusi dengan banyak pakar Khonghucu Indonesia, dan Munas MATAKIN 2018 adalah wadah tertinggi yang bisa merubah sejarah.  

Setelah perdebatan panjang di Komisi A dan saya mempertahankan putusan Komisi A yang saya pimpin dalam sidang Pleno Munas MATAKIN akhirnya untuk pertama kalinya, sejarah MATAKIN dirubah melalui Putusan Munas MATAKIN No. 006/MUNAS XVIII/MATAKIN/2018 dan dicantumkan dalam Anggaran Dasar MATAKIN Bab I Pasal 1 : “Majelis ini bernama Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia atau The Supreme Council for Confucian Religion In Indonesia atau “Yinni Kongjiao Zonghui (印尼孔教总会)” dan disingkat MATAKIN. Spirit Majelis ini berawal dari berdirinya Ming Cheng Shu Yuan tahun 1729 dan Tionghoa Hwee Kwan tahun 1900, Majelis ini mula-mula mengadakan kongres nasional pertama kali di Jogjakarta pada tahun 1923. Setelah kemerdekaan,  Majelis ini mengadakan kongres kembali di Solo Jawa Tengah, Indonesia, pada tanggal 16 April 1955 (sebelumnya disebut Perserikatan Khung Chiau Hui Indonesia), untuk jangka waktu yang tidak terbatas”.

Dalam berbagai Putusan Munas MATAKIN 20-22 Desember 2018, akhirnya menempatkan saya sebagai salah satu pimpinan tertinggi MATAKIN dari 9 (sembilan) orang yang disebut Dewan Rohaniwan MATAKIN seluruh Indonesia. Dari 9 (sembilan) anggota Dewan Rohaniwan MATAKIN, 3 orang berdomisili di DKI Jakarta yakni Xueshi (Xs) Djaengrana Ongawijaya & Xueshi (Xs) Ir. Budi Santoso Tanuwibowo, MM. & Wenshi (Ws) Dr. Drs. Chandra Setiawan, PhD. yang saat ini menjadi Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Republik Indonesia, serta 3 orang dari Jawa Barat yakni Wenshi (Ws) Ir. Wawan Wiratma & Wenshi (Ws) Sunarta Hidayat & Jiaosheng (Js) Dede Hasan Senjaya, 1 orang dari Jawa Tengah yakni Wenshi (Ws) Budi Suniarto, MBA, serta 1 orang dari Jambi yakni Js. Darman Wijaya dan saya dari Sulawesi Utara. Saya diminta merangkap jabatan sebagai Ketua Tim Hukum & Advokasi MATAKIN seluruh Indonesia. Masa jabatan pengabdian kami dihitung sejak 2018 dan baru akan berakhir tahun 2022.  

Terpilih sebagai ketua umum Dewan Rohaniwan / Pimpinan Pusat MATAKIN Xueshi (Xs) Ir. Budi Santoso Tanuwibowo, MM. dan Wenshi (Ws) Budi Suniarto, MBA. sebagai ketua Harian Dewan Rohaniwan / Pimpinan Pusat MATAKIN. Dengan dua orang Sekretaris yakni Dq. Peter Lesmana sebagai sekretaris bidang organisasi dan Js. Wang Urip Saputra sebagai sekretaris bidang rohaniwan. 

MATAKIN dihitung sejak Kongres tahun 1923 di Jokyakarta, saat ini berusia 96 tahun. Hari ulang tahun MATAKIN tetap dihitung sejak tanggal 16 April mengacu kepada Kongres di Solo tahun 1955. Demikian benang merah sejarah dan perubahan penting berdasarkan putusan Munas MATAKIN 20-22 Desember 2018 dan telah dituangkan dalam Anggaran Dasar MATAKIN. 

Dirgahayu MATAKIN ke 96 tahun (16 April 2019). 
Viva MATAKIN Jayalah MATAKIN
Salam hormat bagi para sesepuh & para pejuang Khonghucu di seluruh tanah air, terlebih bagi para pemimpin, rohaniwan & pejuang yang telah Pei Tian, abadi bersama Sang Khalik Tuhan Yang Maha Kuasa. Salah satu pejuang, pemimpin & rohaniwan yang sangat berjasa bagi umat Khonghucu Indonesia adalah Mahaguru Alm. Daxueshi Tjhie Tjay Ing. 

Saudara seiman dimanapun berada, Perjuangan belum selesai. 
Bai ...

Wenshi (Ws) Sofyan Jimmy Yosadi, SH. 
Anggota Dewan Rohaniwan MATAKIN dan Ketua Tim Hukum & Advokasi MATAKIN