Sabtu, 17 September 2022

Legenda LoBanTeng

AKSI rombongan Barongsai asal Semarang bikin gempar seisi pulau Jawa! Mereka tampil tak lazim menggunakan Tjing Pie Say atau Barongsai Bermoncong Hijau pada tahun 1931.

Bagi orang Tionghoa, apalagi para pendekar-pendekar, kemunculan Barongsai Bermoncong Hijau merupakan undangan terbuka untuk mengadu ilmu Silat. Mereka berkeliling Jawa, mulai Semarang, Solo, dan Jogjakarta menampilkan Barongsai berteman pertunjukan Silat sembari membagikan pamflet dan mendirikan plakat besar berisi tulisan bernada temberang.

“Kia Sie Emtang Lay atau kalau takut mati jangan datang ke sini”, dan “Pa Sie Ka Tie Tay atau kalau kena pukul sampai mati kubur sendiri”.

Mereka menantang bagi sesiapa berani unjuk kemampuan akan berhadapan dengan seorang di antara rombongan bertubuh pendek kekar dengan sorot mata tajam. Dia tersohor sebagai Sinshe juga ahli bela diri bernama Lo Ban Teng.

“Maksud Lo Ban Teng mengadakan pertunjukan tersebut untuk mencari tahu kalau-kalau di pulau Jawa ada guru-guru Silat Tionghoa nan pandai,” ungkap Tjoa Khek Kiong pada harian Star Weekly, 7 Februari 1959.

Sampai berbulan berkeliling hingga menguras dana, tapi tak ada sinyal-sinyal para guru maupun pendekar Silat di Jawa menunjukan batang hidung menerima tantangannya.

Sangat mungkin ketenaran kuntao (Ilmu Pukulan) Ngo Cho Kun (Ilmu Silat 5 Leluhur) Lo Ban Teng, membuat ciut nyali para pendekar di Jawa. Apalagi semasa di Tiongkok tersiar kabar banyak sekali para jago Kungfu dibikin mencium tanah. Benarkah Lo Ban Teng sejago itu?

Kepala Batu

Sebelum menguasai ilmu Shaolin Ho Yang Pay, Lo Ban Teng acap tersungkur saat berkelahi dengan para pemuda di desanya, Ciobee, Provinsi Hokkian, Tiongkok.

Di sana mereka sekeluarga merupakan pendatang. Ayahnya, Lo Ka Liong, kemudian membuka usaha arak bernama Kim Oen Hap. Pendatang dan membuka usaha merupakan padu-padan paling sesuai untuk memicu ketidaksukaan orang setempat.

Ketidaksukaan para warga terkadang diungkapkan dengan terang-terangan, mulai ejekan sampai kontak fisik.

Ketika berumur sekira 14 tahu, lelaki kelahiran tanggal 1 bulan keenam tahun 2437 atau 1886 Masehi, berkeinginan untuk belajar Kungfu. Dua tahun Lo Ban Teng belajar intensif dengan seorang guru di kampungnya.

Merasa sudah cukup ampuh, dia petantang-petenteng di depan segerombolan pemuda nan sering mengolok-oloknya, lalu menantang kelahi.

Bukan menjadi orang paling akhir berdiri, Lo Ban Teng justru babak belur dihajar habis-habisan.

Dasar kepala batu, keinginannya untuk belajar Kungfu semakin kuat. Di benaknya hanya berisi imaji tentang jurus, gerak, dan pukulan.

Ayahnya sempat waswas dengan ambisi Ban Teng, lalu mengirim si anak pergi pada usia sekira 17 tahun untuk tinggal bersama saudara misannya di kampung Selan, Semarang. Cuma 7 bulan, Ban Teng memutuskan kembali ke Tiongkok.

Sekembalinya dari Semarang, Ban Teng beroleh informasi tentang ilmu gingkang atau melompat melebihi tinggi tubuhnya bahkan mampu hingga naik genteng rumah, dengan berlatih menggunakan bakiak batu dengan berat semakin lama semakin bertambah.

Tanpa pikir panjang, Ban Teng mendatangi bongpay atau batu kuburan. Dia memesan bakiak batu seberat 5 kg.

Lelaki tua kerempeng pembuat bongpay malah tertawa terkekeh ketika tahu maksud Lo Ban Teng.

Dikenal sumbu pendek, Ban Teng marah lantas mengajak si tua berkelahi. Yoe Tjoen Gan, si tua itu, masih tertawa.

Begitu melihat tjioso atau semacam selot seberat 25 kg, Ban Teng langsung pamer kekuatan dengan mengangkat tjioso sebelah tangan berkali-kali.

“Apa yang kau perlihatkan itu tidak kurang hanya tenaga mati belaka,” celetuk si tua.

Belum sempat Ban Teng menimpali, Yoe Tjoen Gan kontan mengangkat lalu melempar tjioso dengan sebelah tangan hingga berputar di udara. Begitu turun dengan sigap jari-jemari tangan sebelahnya menangkap tanpa bergetar.

Mata si pemuda terbelalak tak percaya. Dia lantas memberi hormat dan meminta agar si tua bersedia menerimanya sebagai murid. Yoe Tjoen Gan menolak.

Mengabdi Si Tua Kerempeng

Tak patah arang, Ban Teng terus melakukan berbagai cara agar bisa berguru dengan si tua, bertahun lamanya. Tetap hasilnya nol pothol.

Satu tempo, Ban Teng mendengar usaha bongpay si tua bangkrut. Dia tak lagi mampu membayar sewa rumah dan terpaksa mengembara. Kesempatan pun lebar. Ban Teng lantas menawarkan sebuah kamar di rumahnya untuk tempat tinggalnya.

“Baiklah,” jawab Yoe Tjan Gan. “Akan kuturuti tinggal bersama kau. Dan untuk membalas kebaikanmu itu, nanti kuajarkan kau beberapa macam ilmu pukulan”.

Ban Teng langsung berlutut dan memberi paykoei (hormat). Latihan pun bergulir di sebuah rumah khusus atau bukwan.

Saban hari tujuan hidup Ban Teng hanya berlatih main pukulan, tiada lain, bahkan usaha arak ditelantarkan begitu saja. Istrinya, Nonya Lo dan beberapa pegawai jengkel mengapa Ban Teng membebek saja perintah si tua kerempeng nan selalu duduk kala latihan berlangsung.

Suatu hari, salah seorang pegawai bertubuh tinggi besar dan lihai bermain pukulan mendapat tantang sang tuan, Ban Teng. Di luar dugaan, sekali gedor, sang tuan terjungkal di atas tong arak.

“Untuk apa tuan mengangkat seorang deng tubuh sepeti lidi menjadi guru Silat tuan,” si pegawai mengejek.

Kekalahan Ban Teng masih menjadi teka-teki. Setelah kunjungan kali kedua menghadap Goei In Lam, saudara seperguruan si tua, barulah teka-teki terjawab.

Rahasia Kuntao Ho Yang Pay

Di hadapan Ban Teng, Goei In Lam nan tersohor bergelar “Macan Tutul Mebalikan Langit”, menasehati rekan seperguruannya untuk bersungguh-sungguh mengajarkan jurus-jurus kepada si murid.

“Kalau terus begini sepakterjangmu, kelak kalau kau mati jenazahmu tiada yang urus,” bentak Goei In Lam.

Kata-kata tersebut membekas di hati si tua. Di suatu malam tanggal 15 bulan Tionghoa, si tua memanggil Ban Teng. Dia telah berteguh hati mengeluarkan seluruh rahasia tehnik kuntao Ho Yong Pay.

Ban Teng mendapat pelajaran tentang cara memukul agar tenaga keluar begitu kuat dan cara mengibaskan badan persis selaik ayam mengibaskan bulu untuk membersihkan badan.

Selain itu, si tua pun mengajarkan cara menampung pukulan lawan, menggerakan tangan dan kaki serentak atau mengancip, dan beragam tehnik rahasia lainnya.

Setelah tiga bulan beroleh ilmu rahasia, Ban Teng kembali menantang pegawainya berduel.

Hanya dua kali gerakan, si pegawai terpental minta ampunan. Selesai dengan pegawai, Ban Teng menantang kembali gerombolan pemuda. Dia ingin membalas babak belur tempo hari.

“Seorang lawan seorang boleh, main keroyok juga boleh,” tantang Ban Teng.

Satu demi satu gerombolan pemuda tidur di tanah. Merka kalah telak meski keroyokan. Semenjak kejadian tersebut, tak ada lagi masyarakat Ciobee berani berkoar-koar di hadapan Ban Teng.

Di tengah kemahiran Ban Teng bermain Kuntao, sang guru, si kerempeng, Yoe Tjan Gan, meninggal dunia. Ban Teng berduka berlaku hauwlam, berkabung selaik putra sendiri.

Bakti Ban Teng tersebar luas hingga sampai ke telinga rekan-rekan seperguruan Yoe Tjan Gan. Selain Goei Ing Lam, Liem Kioe Djie dan Ong Tjian Pwee tergugah hatinya untuk menurunkan jurus-jurus rahasa andalan mereka kepada Ban Teng.

Liem Kioe Djie mengajarkan Ban Teng gerakan tangan dengan mengirim pukulan cepat dan keras disertai kibasan tubuh sehingga mengalirkan tenaga besar ke arah lengan dan tinju, serta diajarkan pula keahlian menyebuhkan luka akbat pukulan hebat, dan menyambung tulang patah.

Di lain kesempatan, Ong Tjian Pwee memberikan amalan jurus gerakan kaki Tjeng Hong Kui Tie atau Angin Sejuk Menyapu Tanah, dan diberi pengetahuan pula tentang ilmu bongmeh (memeriksa denyut nadi memeriksa penyakit seseorang).

Berama Goei Ing Lam, Ban Teng belajar gerakan menggunting menggunakan kedua kaki dan ilmu laykang atau tenaga dalam. Paripurna sudah Ban Teng beroleh seluruh jurus rahasia kuntao Ho Yang Pay. Dia lantas, dengan ijin seluruh paman guru, membuka rumah pengobatan.

Menghajar Ahli Tendangan Geledek

Suatu ketika Ban Teng mendapat informasi seorang guru Silat Ciobee bernama Heng Goan Say sangan congkak mendaku sebagai ahli tendangan geledek dan mampu sekali lompat sampai ke atas genteng rumah. Si jago tendangan geledek pun pernah mengumpat dan menjelek-jelekan Ho Yong Pay.

Tak terima, Ban Tenng menghanpiri Heng Goan Say. Dia menantang sang jagoan tendangan kilat beradu ilmu.

“Sebelum kau menguji kepandaianku, baiklah kau mencoba anakku,” ujar Heng Goan Say.

Putera Heng Goan Say tanpa aba-aba langsung mengarahkan jotosan ke dada. Ban Teng tenang. Dia langsung menimpali menggunakan jurus Kee Bong Tjeng Sit (Ayam Betina Mementang Sayap).

Badan Ban Teng miring. Dia kasih nyelonong jotosan lalu menjepit tangan lawan dengan lengan kanan, seraya secara serentak mengibaskan tubuh. Menggedor siku lawan dengan tangan kiri.

“Prrrrrtaaak,” siku putra Heng Goan Say patah.

Melihat sang anak rebah, si jago tendangan geledek melompat turun arena dan langsung melancarkan tendangn secepat kilat.

Ban Teng cuma melengos tak menanggapi tendangan bertubi lawannya. Dia semakin mengerti kalau tendang geledek sang lawan tak selihai cerita orang. Berkali-kali tendang Goan Say mentah.

Tiba-tiba Goan Say mengubah jurus dengan memberi tinju cepat, namun Ban Teng lebih sigap. Dia menangkap pukulan Goan Say dengan kedua tangan (In Tien Shou), menariknya, lalu menghantam tendangan keras ke bawah ketiak lawan.

Goan Soay tersungkur mencium tanah. Dari mulutnya pun keluar busa.

Kemenangan Ban Teng tersebar hingga ke luar Ciobee. Dia telah termahsyur sebagai sosok pendekar Kungfu bergelar Pek Bin Kim Kong (Malaikat Berwajah Putih).

Tak heran bila, seorang di Semarang mengirim surat kepadanya berisi undangan agar menghantam jagoan berkulit hitam nan sesumbar mampu mengalahkan semua pendekar Tionghoa.

Ban Teng pun pergi ke Semarang. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar